Senin, 17 November 2014

Apakabar Perpu Plikada???

Oleh : Samsul Arifin

Apakabar Perpu Plikada???


Semenjak pertengahann 2014, pertunjukan akrobatik politik nasional dipertontonkan dan dipentaskan dengan apik menurut versi masing-masing pelaku dan kubu seniman politik untuk menarik serta merebut standing applause segmentasi politiknya yakni masyarakat luas. Mulai dari Pemilu Legislatif, pemilu Presiden sampai perebutan pimpinan MPR RI dan DPR RI beserta alat kelengkapannya yang bermuara pada munculnya DPR tandingan oleh kubu koalisi Indonesia hebat (KIH) terhadap koalisi merah putih (KMP) yang menutup penuh pos struktural pimpinan MPR dan DPR. kompetisi politik kedua kubu ini juga merambah pada persoalan hukum hal tersebut bisa diukur dengan kadar rasionalitas standard pun sulit kiranya untuk tidak mengaitkan polemik undang-undang yang dibentuk lembaga legislatif ini sebagai ekses dari mengakarnya kompetisi politik dari dua kubu tersebut semisal UU MD3 dan UU No. 22 Tahun 2014, namun dalam hal ini penulis fokus terhadap persoalan Pilkada yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2014, dimana undang-undang ini memang cukup berhasil mengais reaksi dari masyarakat mengingat pemilu kepala daerah dikembalikan kepada DPRD yang sebelumnya dipilih langsung oleh rakyat, bahkan gesekan dealektika kuat terjadi di internal DPR sendiri antara kedua kubu dan yang diwarnai walk out fraksi partai demokrat serta diakhiri dengan voting untuk mengesahkan undang-undang ini.
Meskipun memang sampai detik ini hanya Presiden yang diberi kewenangan untuk menafsirkan “hal ihwal kegentingan memaksa” dengan subyektifitasnya, entah pertimbangan apa yang ada dalam benak Presiden SBY pada waktu itu yang akan segera berakhir masa jabatannya, apakah reaksi sebagian masyarakat terhadap UU No. 22 tahun 2014 tersebut sudah cukup kuat memenuhi syarat Negara dikategorikan dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga Presiden memandang urgen mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2014, Dan apakah dengan dikeluarkan nya Perpu ini akan benar-benar menjawab dan menyelesaikan segala polemik hukum tentang pemilu kada? Justru dengan dikeluarkannya Perpu ini akan membuka gerbang persoalan hukum baru.

Kekosongan hukum
Pasca meredupnya hingar-bingar perdebatan soal UU MD3 khususnya terkait pengaturan pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR antara dua kubu (kubu KIH dan KMP) dengan ditandai kesepakatan islah keduanya, masyarakat sudah mulai sadar dan melemparkan fokusnya kembali pada persoalan Perpu No.1 tahun 2014 yang sempat kalah pamor oleh pemberitaan duel perdebatan dua kubu KIH dan KMP tersebut. Ketika Presiden mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2014, sebagian kita mengatakan itu adalah anti tesa dan jalan keluar (the way out) dari kebuntuan perdebatan antara pihak yang menginginkan pilkada tetap langsung dan pihak yang menginginkan pilkada oleh DPRD, namun ketika kita kaji secara lebih mendalam, dikeluarkan nya Perpu ini malah sangat berpotensi menciptakan persoalan hukum baru yakni “kekosongan hukum”, yakni sesuai perintah konstitusi Pasal 22 ayat (2 dan 3) bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya” dan “jika tidak mendapat persetujuan peraturan pemerintah itu harus dicabut”. Artinya ketika Perpu no.1 tahun 2014 ini tidak mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya maka Perpu ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dari sinilah awal mulanya terjadinya “kekosongan hukum” tentang pilkada mengingat selain Perpu tersebut sudah dicabut dan tidak bisa kembali menggunakan UU No. 22 tahun 2014 karena Undang-undang ini sudah dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang sejajar, sah dan berlaku ketika dikeluarkan yakni Perpu no. 1 tahun 2014 tersebut, oleh karena itu secara mutatis mutandis pencabutan terhadap UU No. 22 tahun 2014 juga sah sehingga tidak berlaku lagi. Semisal Perpu tersebut ditolak dan terjadi kekosongan hukum, Lantas bagaimana dengan nasib pelaksanaan pilkada yang jadwal semestinya harus dilaksanakan pada saat waktu terjadi kekosongan hukum tersebut? Apakah ia pelaksanaan pilkada tersebut dibekukan sementara waktu sampai dibentuknya undang-undang baru oleh DPR untuk menghindari pilkada yang illegal dan atau Presiden mengeluarkan Perpu kembali mengingat terjadi kekosongan hukum, yang jelas opsi itu semua bisa dilakukan tetapi bukan tanpa ekses.
Secara politis, perpu ini ada harapan untuk diterima dan menjadi undang-undang oleh DPR pada persidangan berikutnya, mengingat komposisi dua kubu di DPR sekarang yang setuju dengan yng tidak setuju pilkada langsung dengan suara hampir seimbang, otomatis yang menjadi penentu adalah fraksi partai demokat yang notabene bagian dari kubu KMP akan tetapi lain sisi Perpu merupakan produk era Presiden SBY yang tidak lain adalah ketua umum partai demokrat, dan secara substansial Perpu ini juga merupakan pengaturan yang diperjuangkan oleh fraksi demokrat disaat menjelang pengesahan UU No. 22 tahun 2014 yang berujung walk out yakni pemilihan secara langsung dengan penambahan sepuluh poin, lantas secara tanggung jawab dan beban moral apakah ia fraksi partai demokrat nantinya akan menolak Perpu ini pada sidang berikutnya, kalau itu terjadi maka hal tersebut merupakan bentuk inkonsistesi lemabaga kepartaian wang wajib dicatat oleh rakyat.

Palu MK
Peran Mahkamah Konstitusi (MK) jugan sangat menentukan apakah nantinya akan terjadi kekosongan hukum apa tidak dalam penyelenggaraan pilkada, jika MK menerima judicial review terkait Perpu No. 1 tahun 2014 ini. Semisal jika MK menerima permohonan judicial review pengujian formal terhadap Perpu ini oleh sadara Didik Siprianto yang agar Perpu tersebut dinyatakan inkonstitusional dengan alasan Perpu tersebut tidak memenuhi syarat keadaan kegentingan memaksa sebagaimana putusan MK No. 138/PUU/VII/2009. Semisal nantinya MK dalam putusannya menyatakan Perpu No.1 tahun 2004 dinyatakan inkonstitusional maka ada kemungkinan tidak terjadi kekosongan hukum tergantung bagaimana bunyi vonis putusan MK apakah “batal” atau “membatalkan”. Jika vonis MK menyatakan Perpu No. 1 tahun 2014 “batal” (ex-tunc), maka secara mutatis mutandis UU No. 22 tahun 2014 dinyatakan tetap berlaku karena Perpu No. 1 tahun 2014 yang mencabutnya dianggap tidak pernah ada, dan undang-undang pilkada bisa digunakan kembali sehingga pemilu kada tidak akan mengalami kekosongan hukum, akan tetapi jika vonis MK menyatakan “membatalkan” (ex-nunc) Perpu No. 1 tahun 2014 maka vonis tersebut berlaku kedepan dan tidak menjangkau terhadap akibat hukum sebelumnya, oleh karena itu Perpu no. 1 tahun 2014 ini pernah dianggap ada secara sah dan mencabut UU No. 22 tahun 2014 secara sah pula sehingga vonis ini juga membuka peluang terjadinya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan pilkada.
Sekian terimaksih, salam hangat.. !!!!!!!!!!!!

1 komentar:

  1. Welcome Bonus ᐈ Casino Site
    Casino Site ᐈ 온카지노 Online Casino Casino. Welcome Bonus up 제왕카지노 to ₹10,000 ✓ Mobile-Friendly 카지노사이트 ✓ Safe & Secure ✓ Full List of the Best Online Casino

    BalasHapus