Oleh
: Samsul Arifin
Apakabar
Perpu Plikada???
Semenjak
pertengahann 2014, pertunjukan akrobatik politik nasional
dipertontonkan dan dipentaskan dengan apik menurut versi
masing-masing pelaku dan kubu seniman politik untuk menarik serta
merebut standing
applause
segmentasi politiknya yakni masyarakat luas. Mulai dari Pemilu
Legislatif, pemilu Presiden sampai perebutan pimpinan MPR RI dan DPR
RI beserta alat kelengkapannya yang bermuara pada munculnya DPR
tandingan oleh kubu koalisi Indonesia hebat (KIH) terhadap koalisi
merah putih (KMP) yang menutup penuh pos struktural pimpinan MPR dan
DPR. kompetisi politik kedua kubu ini juga merambah pada persoalan
hukum hal tersebut bisa diukur dengan kadar rasionalitas standard pun
sulit kiranya untuk tidak mengaitkan polemik undang-undang yang
dibentuk lembaga legislatif ini sebagai ekses dari mengakarnya
kompetisi politik dari dua kubu tersebut semisal UU MD3 dan UU No. 22
Tahun 2014, namun dalam hal ini penulis fokus terhadap persoalan
Pilkada yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2014, dimana undang-undang
ini memang cukup berhasil mengais reaksi dari masyarakat mengingat
pemilu kepala daerah dikembalikan kepada DPRD yang sebelumnya dipilih
langsung oleh rakyat, bahkan gesekan dealektika kuat terjadi di
internal DPR sendiri antara kedua kubu dan yang diwarnai walk
out fraksi
partai demokrat serta diakhiri dengan voting untuk mengesahkan
undang-undang ini.
Meskipun
memang sampai detik ini hanya Presiden yang diberi kewenangan untuk
menafsirkan “hal ihwal kegentingan memaksa” dengan
subyektifitasnya, entah pertimbangan apa yang ada dalam benak
Presiden SBY pada waktu itu yang akan segera berakhir masa
jabatannya, apakah reaksi sebagian masyarakat terhadap UU No. 22
tahun 2014 tersebut sudah cukup kuat memenuhi syarat Negara
dikategorikan dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga Presiden
memandang urgen mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2014, Dan apakah
dengan dikeluarkan nya Perpu ini akan benar-benar menjawab dan
menyelesaikan segala polemik hukum tentang pemilu kada? Justru dengan
dikeluarkannya Perpu ini akan membuka gerbang persoalan hukum baru.
Kekosongan
hukum
Pasca
meredupnya hingar-bingar perdebatan soal UU MD3 khususnya terkait
pengaturan pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR antara dua
kubu (kubu KIH dan KMP) dengan ditandai kesepakatan islah
keduanya, masyarakat sudah mulai sadar dan melemparkan fokusnya
kembali pada persoalan Perpu No.1 tahun 2014 yang sempat kalah pamor
oleh pemberitaan duel perdebatan dua kubu KIH dan KMP tersebut.
Ketika Presiden mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2014, sebagian kita
mengatakan itu adalah anti tesa dan jalan keluar (the
way out)
dari kebuntuan perdebatan antara pihak yang menginginkan pilkada
tetap langsung dan pihak yang menginginkan pilkada oleh DPRD, namun
ketika kita kaji secara lebih mendalam, dikeluarkan nya Perpu ini
malah sangat berpotensi menciptakan persoalan hukum baru yakni
“kekosongan hukum”, yakni sesuai perintah konstitusi Pasal 22
ayat (2 dan 3) bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya” dan “jika tidak
mendapat persetujuan peraturan pemerintah itu harus dicabut”.
Artinya ketika Perpu no.1 tahun 2014 ini tidak mendapatkan
persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya maka Perpu ini dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku. Dari sinilah awal mulanya terjadinya
“kekosongan hukum” tentang pilkada mengingat selain Perpu
tersebut sudah dicabut dan tidak bisa kembali menggunakan UU No. 22
tahun 2014 karena Undang-undang ini sudah dicabut oleh peraturan
perundang-undangan yang sejajar, sah dan berlaku ketika dikeluarkan
yakni Perpu no. 1 tahun 2014 tersebut, oleh karena itu secara mutatis
mutandis pencabutan terhadap UU No. 22 tahun 2014 juga sah sehingga
tidak berlaku lagi. Semisal Perpu tersebut ditolak dan terjadi
kekosongan hukum, Lantas bagaimana dengan nasib pelaksanaan pilkada
yang jadwal semestinya harus dilaksanakan pada saat waktu terjadi
kekosongan hukum tersebut? Apakah ia pelaksanaan pilkada tersebut
dibekukan sementara waktu sampai dibentuknya undang-undang baru oleh
DPR untuk menghindari pilkada yang illegal dan atau Presiden
mengeluarkan Perpu kembali mengingat terjadi kekosongan hukum, yang
jelas opsi itu semua bisa dilakukan tetapi bukan tanpa ekses.
Secara
politis, perpu ini ada harapan untuk diterima dan menjadi
undang-undang oleh DPR pada persidangan berikutnya, mengingat
komposisi dua kubu di DPR sekarang yang setuju dengan yng tidak
setuju pilkada langsung dengan suara hampir seimbang, otomatis yang
menjadi penentu adalah fraksi partai demokat yang notabene bagian
dari kubu KMP akan tetapi lain sisi Perpu merupakan produk era
Presiden SBY yang tidak lain adalah ketua umum partai demokrat, dan
secara substansial Perpu ini juga merupakan pengaturan yang
diperjuangkan oleh fraksi demokrat disaat menjelang pengesahan UU No.
22 tahun 2014 yang berujung walk
out yakni
pemilihan secara langsung dengan penambahan sepuluh poin, lantas
secara tanggung jawab dan beban moral apakah ia fraksi partai
demokrat nantinya akan menolak Perpu ini pada sidang berikutnya,
kalau itu terjadi maka hal tersebut merupakan bentuk inkonsistesi
lemabaga kepartaian wang wajib dicatat oleh rakyat.
Palu
MK
Peran
Mahkamah Konstitusi (MK) jugan sangat menentukan apakah nantinya akan
terjadi kekosongan hukum apa tidak dalam penyelenggaraan pilkada,
jika MK menerima judicial review terkait Perpu No. 1 tahun 2014 ini.
Semisal jika MK menerima permohonan judicial review pengujian formal
terhadap Perpu ini oleh sadara Didik Siprianto yang agar Perpu
tersebut dinyatakan inkonstitusional dengan alasan Perpu tersebut
tidak memenuhi syarat keadaan kegentingan memaksa sebagaimana putusan
MK No. 138/PUU/VII/2009. Semisal nantinya MK dalam putusannya
menyatakan Perpu No.1 tahun 2004 dinyatakan inkonstitusional maka ada
kemungkinan tidak terjadi kekosongan hukum tergantung bagaimana bunyi
vonis putusan MK apakah “batal” atau “membatalkan”. Jika
vonis MK menyatakan Perpu No. 1 tahun 2014 “batal” (ex-tunc),
maka secara mutatis mutandis UU No. 22 tahun 2014 dinyatakan tetap
berlaku karena Perpu No. 1 tahun 2014 yang mencabutnya dianggap tidak
pernah ada, dan undang-undang pilkada bisa digunakan kembali sehingga
pemilu kada tidak akan mengalami kekosongan hukum, akan tetapi jika
vonis MK menyatakan “membatalkan” (ex-nunc) Perpu No. 1 tahun
2014 maka vonis tersebut berlaku kedepan dan tidak menjangkau
terhadap akibat hukum sebelumnya, oleh karena itu Perpu no. 1 tahun
2014 ini pernah dianggap ada secara sah dan mencabut UU No. 22 tahun
2014 secara sah pula sehingga vonis ini juga membuka peluang
terjadinya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan pilkada.
Sekian
terimaksih, salam hangat.. !!!!!!!!!!!!
Welcome Bonus ᐈ Casino Site
BalasHapusCasino Site ᐈ 온카지노 Online Casino Casino. Welcome Bonus up 제왕카지노 to ₹10,000 ✓ Mobile-Friendly 카지노사이트 ✓ Safe & Secure ✓ Full List of the Best Online Casino