Oleh
: Samsul
Arifin
Selasa,
28 Oktober, 2014
Meneropong
“Kabinet Kerja”
Masih
tergambar dengan jelas bagaimana hingar-bingar meriahnya euforia
perayaan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko
Widodo-Yusuf Kalla periode 2014-2019 pada Senin 20 Oktober kemaren,
besar dan meriahnya euforia oleh rakyat tersebut secara tersirat
tidak dapat dimaknai sebagai perayaan rakyat terhadap sah nya
Jokowi-Yusuf Kalla menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden baru
semata, melainkan harus mampu ditangkap dan dipahami sebagai gambaran
besar wujud espektasi rakyat Indonesia terhadap amanah yang
diembannya, karena pada dasarnya perayaan tidak di letakkan pada saat
start perjuangan tetapi diletakkan pada saat perjuangan sudah
mencapai garis finis dengan syarat disertai prestasi yang memuaskan
bagi bangsa ini. Besarnya ekspektasi rakyat terhadap pemerintahan
baru yang dinahkodai oleh Jokowi-Yusuf Kalla ini bukanlah pengharapan
besar halusinasif semata dan tanpa dasar akan perubahan serta
kemajuan bangsa ini, mengingat ekpektasi tersebut merupakan hal yang
wajar sebagai pantulan balik yang sinergis dengan apa yang
Jokowi-Yusuf Kalla sampaikan disaat kampanye Pilpres seperti dalam
hal pengentasan kemiskinan, kedaulatan energy, pemberdayaan ekonomi
kreatif, penegakan hukum serta pemberantasan korupsi dan lain
sebagainya. Espektasi besar rakyat tersebut harus mampu dirawat dan
dijawab dengan baik oleh pemerintahan saat ini tidak hanya dalam lima
tahun mendatang tetapi juga dalam mengawali pemerintahan sekarang,
karena jika tidak, maka sangat dimungkinkan ekspektasi besar tersebut
bereksodus kearah distrust
yang
dibalut kekecewaan rakyat. Dalam mengawali langkah pemerintahannya
Presiden Jokowi tidak banyak mengalami hambatan dan sandungan yang
sangat berarti, hal tersebut tidak terlepas dari proses tansisi dari
pemerintahan sebelumnya terhadap pemerintahan sekarang berjalan
lancar yang patut di apresiasi setinggi mungkin. Dan yang menjadi
bacaan rakyat Indonesia sekarang yang meletakkan harapan besar pada
pundak pemerintahan baru ini, ialah bagaimana Jokowi menyusun kabinet
nya (kabinet kerja), karena disitulah sebenarnya rakyat dapat menakar
langkah awal Presiden Jokowi dalam menyongsong pemerintahannya sampai
lima tahun yang akan datang, apakah pos-pos “kabinet kerja” yang
sudah terbentuk di isi oleh person-person yang layak dan profesional
berdasarkan kompetensi dan track
record nya,
bukan hannya karena kedekatan emosional politis semata, karena tidak
dapat dipungkiri kita pernah memiliki pengalaman traumatik berkaitan
dengan ditetapkannya tiga menteri sebagai tersangka korupsi oleh KPK
bahkan ada yang sudah di vonis oleh tipikor pada era pemerintahan
sebelumnya yang ketiga-tiganya berasal dari partai politik pendukung
pemerintahan, walaupun hal tersebut tidak mesti menjadi patokan utama
terjadinya tindak pidana korupsi, karena tidak ada jaminan utuh bahwa
menteri dari partai politik dan menteri dari kalangan professional
untuk selalu bersih dari potensi korupsi, akan tetapi setidaknya kita
dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi.
Pelibatan
KPK dan PPATK
Penyusunan
kabinet atau menteri merupakan derefasi praktikal konstitusional
karena sudah menjadi pranata konstistusi seperti yang termaktub dalam
Pasal 17 UUD 1945, dimana dalam hal ini Presiden diberikan hak
istimewa yakni hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan
menteri-menterinya. Berkaitan dengan penyusunan kabinet pemerintahan
Presiden Jokowi yang sudah terbentuk dengan nama “kabinet kerja”
tersebut menarik untuk disimak, mengingat Presiden melibatkankan
lembaga Negara lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
PPATK untuk dimintai report
terkait rekam jejak calon menteri-menterinya untuk memastikan apakah
bersih dari keterkaitan tindak pidana korupsi atau tidak. Dari
prosesi rekruitmen menteri-menteri dengan melibatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK yang tidak pernah dilakukan
Presiden sebelumnya ini, walaupun report
dari KPK menyatakan ada beberapa nama calon menteri yang disodorkan
oleh Presiden Jokowi mendapat stabilo kuning dan merah artinya tidak
rekomended untuk diplot sebagai menteri, tetapi dalam prosesi ini
pada permukaan secara tersirat dapat ditangkap niatan dan maksud baik
Presiden Jokowi untuk menyusun kabinet yang bersih, akan tetapi
disisi lain ada beberapa hal yang patut dinilai lebih mendalam lagi
yakni:
- Mengingat KPK dan PPATK dalam menyampaikan report secara tertutup terhadap Presiden terkait nama-nama calon menterinya sehingga publik tidak tahu apakah Presiden masih mengangkat nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah atau kuning dari KPK, maka dari itu KPK dan PPATK hendaknya segera mengumumkan hasil report nya kepada publik, karena publik berhak tahu terhadap transparansi proses ini tanpa sedikitpun mengurangi hak prerogatif presiden
- Hasil report KPK terkait nama-nama menteri yang mendapat stabilo kuning atau merah baik yang diserahkan secara tertutup terhadap Presiden dan atau nantinya di umumkan kepada publik oleh KPK bisa berdampak pada ketidak terpilihan yang bersangkutan sebagai menteri dalam “kabinet kerja” dan atau nantinya menyebabkan penghakiman (judge) tanpa adanya proses peradilan, padahal setiap orang dilindungi oleh asas presumption of innocence dari penghakiman sebelum adanya proses peradilan. Oleh karena itu KPK hendaknya mengumumkan hasil report nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah, kuning tersebut agar publik tahu apakah nama-nama tersebut masih dipakek atau tidak dalam “kabinet kerja”. Tetapi dengan catatan KPK harus disertai dengan langkah penegakan hukum terhadap nama-nama mantan calon menteri dan menteri terpilih yang mendapat stabilo merah atau kuning tersebut, agar KPK tidak sewenang-wenang merusak nama baik seseorang tanpa memprosesnya secara hukum.
Kabinet
refresentatif
Dalam
perspektif postur pemerintahan akomodatif idealnya postur kabinet itu
di isi oleh person-person yang merefrentasikan semua elemen bangsa
dan Negara ini seperti komposisi lembaga perwkilan di parlemen namun
keduanya merupakan lembaga Negara dengan fungsi dan kewenangan yang
berbeda, yang menjadi soal adalah dengan postur kabinet yang hanya
terdiri dari 34 pos kementrian apakah mampu untuk mengakomodasi semua
elemen perwakilan suku dan anak bangsa? Dapat kita bayangkan dengan
jumlah suku yang ada di Indonesia kurang lebih 1.128 suku bangsa,
terlebih semisal dari perwakilan suku bangsa tersebut meminta agar
diakomodasi dalam kabinet, hal yang mustahil untuk mengakomodasi
seluruhnya. Oleh karena itu penulis berpandangan bahwa kabinet yang
baik itu bukan kabinet yang penyusunannya didasarkan pada hal yang
sifatnya akomodatif sebagai pertimbangan utamanya tetapi kabinet yang
penyusunan nya didasarkan pada pertimbangan kelayakan, kompetensi
yang menjadi hak prerogatif Presiden untuk menetukan mengangkatnya,
oleh karena itu yang tidak terpilih menjadi menteri terkecuali yang
terkena stabilo merah atau kuning KPK bukan karena tidak layak dan
tidak memiliki kompetensi melainkan bisa jadi karena satu dua hal
yang hanya Presiden yang memahaminya.
dan semoga kabinet kerja ini benar-benar telah di isi oleh sosok-sosok yang layak, kompeten, serta profresional sehingga mampu mewujudkan espektasi besar rakyat Indonesia, atau setidak-tidaknya merealisasikan menunaikan janji-janji politik Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla seperti yang dikampanyekan.
dan semoga kabinet kerja ini benar-benar telah di isi oleh sosok-sosok yang layak, kompeten, serta profresional sehingga mampu mewujudkan espektasi besar rakyat Indonesia, atau setidak-tidaknya merealisasikan menunaikan janji-janji politik Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla seperti yang dikampanyekan.
Sekian
terimakasih,
Selamat
hari Sumpah Pemuda….!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar