Oleh
: Samsul Arifin (Pelajar Hukum Tata Negara)
BAB
I
Pendahuluan
1. Latar
Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik, yang artinya negara Indonesia
sebagai suatu kesatuan utuh negara yang terdiri dari wilayah provinsi,
kabupaten dan kota. Pembagian menjadi daerah-daerah tersebut tidak
mengakibatkan terjadinya pembagian kedaulatan atau dengan kata lain tidak ada
Negara lain di dalam wilayah Republik Indonesia. Pembagian tersebut hanya pada
sistem pemerintahannya, sehingga menjadi satuan pemerintahan nasional (pusat)
dan satuan pemerintahan sub nasional (daerah), yaitu provinsi dan kabupaten dan
kota.
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan
pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan, dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
memberi kewenangan yang besar kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan daerah (Peraturan Daerah) dan bukan merupakan suatu
kedaulatan tersendiri seperti dalam sistem federal. Asas desentralisasi
berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud
variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat.
Pada dasarnya, suatu daerah dapat disebut otonom
bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1.
Sebagai
suatu zelfstandigestaats rechtelijke
organisatie yang dicerminkan pada keuangan, pembiayaan dan dimilikinya
Dinas Daerah.
2.
Dari
sisi hukum: adalah badan hukum (rechtspersoon),
sehingga memiliki kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan mengenai kekayaan (vermogensrecht), kekuasaan hukum (rechtsbevoegd) dan dapat bertindak (handelingsbekwaam).
3.
Sebagai
badan hukum dapat dituntut dan menuntut pihak lain dipengadilan, memiliki anggaran
sendiri dengan rekening yang terpisah dari rekening Pemerintah Pusat, memiliki
wewenang untuk mengalokasikan sumber-sumber yang substansial.
4.
Mengemban
multifungsi yang merupakan pembeda utama antara daerah otonom dengan lembaga
yang terbentuk dalam rangka desentralisasi fungsional.
5.
Penyelenggara
desentralisasi adalah Pemerintah Pusat. Dalam menjalankan kewenangannya
tersebut, yang dapat dilakukan oleh suatu daerah otonom adalah menetapkan dan
melaksanakan kebijaksanaan. Kewenangan tersebut merupakan kekuasaan formal yang
dimiliki oleh daerah yang melingkupi wilayah dan orang yang menjadi sasaran
wewenang (domain of power) dan
bidang-bidang kehidupan yang terliput dalam wewenangnya (scope of power) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan
peraturan perundang-undangan.
Daerah
semakin gencar untuk menuntut ruang kekuasaan yang lebih besar dengan
mengajukan pemekaran daerah dan otonomi khusus sebagai bagian proses politik
dan pembagian kekuasaan elite politik di tingkat lokal. Disentralisasi dan
otonomi daerah diharapkan menjadi instrumen pemersatu bangsa, malah dewasa ini
menimbulkan begitu banyak efek negatif, dimulai dari konflik horizontal sampai
pada banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. Terkhusus kasus
korupsi kepala daerah. Prinsip disentralisasi melalui
pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sering
disebut otonomi daerah seharusnya mampu mendekatkan masyarakat dengan
pemimpinnya namun demikian ternyata dimaknai hanya sebagai pelimpahan
kewenangan yang berakibat munculnya raja-raja baru di daerah. Oleh karena itu
disentralisasi dan otonomi daerah malah kerap disebut sebagai disentralisasi
korupsi akibat perpindahan locus penyelewenangan kekuasaan dari pusat ke
daerah. Oleh karena
itu menarik bagi penulis dalam penulisan makalah ini mengangkat judul “Konsepsi Disentralisasi asimetris dalam
kerangka penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka
penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan
yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Konsepsi
Disentralisasi asimetris dalam kerangka penguatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia?
BAB
II
Pembahasan
1.
Konsepsi Disentralisasi asimetris dalam kerangka
penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kita mengenal otonomi khusus seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta,
Papua, Aceh serta DKI tapi bagaimana dengan daerah lain yang memiliki dinamika
dan kekhasan tersendiri, misalnya provinsi Bali dengan budaya dan pariwisata,
Kepulauan Riau yang daratannya 4,21 persen saja dari wilayah kepulauannya,
Kutai Kartanegara yang menuntut otonomi khusus karena merasa mempunyai income perkapita tinggi, basis ekonomi
yang kuat, basis material yang kuat dan Solo yang juga menuntut otonomi khusus
sebagai daerah istimewa karena memiliki kekhasan kebudayaan dan historis.
Inti dari disentralisasi asimetris ialah terbukanya ruang gerak
implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar
ketentuan umum dan khusus. Pertanyaan selanjutnya apakah sistem desentralisasi
asimetris diberlakukan di level provinsi seperti yang terjadi saat ini di
provinsi DIY, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua ataukah di level kabupaten/kota karena pada dasanya kekhasan dibidang sosial,
budaya, ekonomi dan politik, bisa ditemukan diwilayah provinsi maupun
kabupaten/kota. Menurut Mas’ud Said disentralisasi asimetris diberlakukan di level
provinsi karena kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan
pemerintahan selama ini.
Dan diletakkannya otonomi khusus di level provinsi agar tidak menciptakan
hubungan berbeda pemerintah pusat-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota
sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Negara harus mampu mengakomodasi berbagai kekhususan dan dinamika yang
dimiliki masing-masing daerah karena dikuatirkan akan membawa berbagai konsekuensi yang merugikan masa depan
rakyat di daerah dalam menjelmakan kesejahteraan terkait dengan keragaman potensi
daerah, social budaya, etnis, geografis, ekonomi dan social politik. Pada
dasarnya UUD RI 1945 memberikan peluang penerapan disentralisasi asimetris
melalui ketentuan pasal 18B Ayat 1 dan 2 yang menekankan kekhususan,
keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat dan hak-hak tradisional. Berdasarkan
penelitian Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) berkerja
sama dengan Tifa Foundation desain asimetrisme dapat didasarkan atas
pertimbangan konflik, kebudayaan, ekonomi, perbatasan dan ibukota negara.
Pemberlakukan disentralisasi asimetris merupakan respon terhadap ancaman
disintergrasi bangsa. Berawal dari penghianatan atas
negara hukum (recht staat) berlaku pada
orde lama, orde baru sampai dengan era reformasi. Ketiadaan hukum bermula
dibidang politik pada 1965 saat negara menjelma menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini tentu menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat
terhadap para pemimpinnya, rezim boleh berubah tapi ternyata korupsi tetap saja
merajalela di negeri ini dan Indonesia seolah-olah hanyalah Jakarta serta
mengenyampingkan keberadaan daera-daerah lain. Ketidakpercayaan memunculkan
berbagai perlawanan dari masyarakat atau (sosial force) diberbagai belahan
negeri ini. Keadaan yang sudah kacau balau seperti ini tentu mengkhawatirkan
dan paling menakutkan dari akumulasi dis-orientasi, distrust dan social force
adalah disintegrasi bangsa. Diujung timur indonesia rakyat Papua dan rakyat Aceh
berusaha melawan kesewanang-wenangan penguasa, kedua daerah tersebut berusaha
memisahkan diri dari negara kesatuan republik Indonesia melalui upaya militer.
Oleh karena itu untuk menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia dan
mencegah disintegrasi bangsa, maka diterapkan disentralisasi asimetris melalui
pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jurusan
Ilmu Pemerintahan, Fakultas Isipol UGM, menemukan adanya praktik otonomi dan
kekhususan di beberapa daerah, antara lain, di Aceh, Batam, Daerah Khusus Ibu
Kota, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Papua. Penerapan
desentralisasi asimetris itu sangat tergantung pada kekuatan leadership
(kepemimpinan), bahkan capaian politik sangat ditentukan oleh kekuatan figur
dan lobi politik. Sebagaimana dicontohkan, munculnya kewenangan desentralisasi
khusus di daerah pada awalnya dilakukan oleh tokoh, antara lain, Teuku Daud
Beureuh dan Hasan Tiro di NAD, Ali Sadikin dan Sutiyoso di DKI, Hamengku Buwono
IX di Daerah Istimewa Yogyakarta, serta Sultan Hamid II di Kalimantan Barat.
Orang-orang ini mengawal desentralisasi asimetris. Disentralisasi asimetris
dapat dimaknai dengan berbagai mekanisme, misalnya sistem pemerintahan di DIY
yang bercorak monarkhi konstitusional,
dimana mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD
dan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh Sultan Hamengku Bowono yang bertakhta untuk
calon Gubernur dan yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur
DIY,
Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariah islam dan memiliki sistem
kepartaian ditingkat lokal yang lekat dalam sistim disentralisasi federalis dan
di Papua yang disyaratkan hanya orang
asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan
sebagainya. Disinilah yang menjadi problem ketika logika negara kesatuan,
seperti yang ditegaskan dalam pasal 1 UUD RI 1945 mangatakan bahwa Indonesia
adalah negara kesatuan tapi dalam penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh yang dibuat sebagai tindak lanjut dari nota
kesepahaman (Memorandum of Understanding)
antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian,
yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah
diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008
cenderung menerapkan sistem disentralisasi federalis. Oleh karena itu logika ketetanegaraan
Indonesia kerap goyah, inkonsistensi pun terjadi pada sistem pemerintahan
Indonesia yang presidensil tapi dijalankan dengan sistem parlementer.
Negara kesatuan dan negara federasi memiliki perbedaan yang fundamental,
negara kesatuan bersusun tunggal dan urusan-urusan negara dalam negara kesatuan
tetap merupakan suatu kebulatan serta pemegang tertinggi dinegara adalah
pemerintah pusat, sedangkan negara federasi bersusun jamak yang terdiri dari
beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka
dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri.
Negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak
bertanggungjawab kepada pemerintah federal.
C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar
negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal
dengan unit-unit federasi. Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the
federal authority) dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana
diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve of
powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan
pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang
terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh negara-negara federal
yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Kanada dan
sebagainya . Kedua, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan
pemerintah negara-negara bagian, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power)
yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal.
Dalam kaitannya indonesia sebagai negara kesatuan, tentu pemerintah
pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan
negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan
negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. Distribution of power (pembagian kekuasaan) oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah berimplikasi hampir semua kewenangan dilimpahkan ke
daerah kecuali, politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional dan agama.
Dalam hal ini peranan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan negara dan
pemberian otonomi khusus kepada provinsi DIY, Nagroe Aceh Darussalam dan Papua
sebagai bagian penerapan disentralisasi asimetris tapi sebagai negara kesatuan
Indonesia tentu dibeberapa ketentuan pasal-pasal otonomi khusus lebih bercorak
sistem federal, misalnya lembaga negara yang bersifat lokal Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh
dan Majelis Rakyat Papua (MRP)
yang lazimnya berada tingkatan pusat atau disebut Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang diatur dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan
UU MD3.
Dalam pelaksanaan otonomi khusus yang dimiliki oleh
Provinsi Aceh dan Papua yang mengarah kepada bentuk negara federal diantaranya
dalam ketentuan pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 dan pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006
disebutkan bahwa Aceh dan Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah
sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu
Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan
sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk
negara federal.
Produk hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Papua (DPRP) bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan
Majelis Rakyat Papua (MRP) pada tingkat yang lebih tinggi dan Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan
oleh DPRP bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29
ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan
dengan sistem negara federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai
undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan pelaksananya.
Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai
pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai
pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan didasarkan
atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun.
Sedangkan produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan
istilah “Qanun”. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh
Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh, dan Qanun Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah
mendapatkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten.
Merujuk pada ketentuan negara kesatuan yang memposisikan pemerintah pusat
sebagai pemilik kekuasaan tertinggi negara dan bukan malah sebaliknya, misalnya
kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang
akan dibuat oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharuskan untuk melakukan
konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur, tentu ini tidak sesuai dengan
prinsip negara kesatuan, maka pilihan selanjutnya ialah merombak Undang-Undang
provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Papua agar sesuai dengan prinsip negara
kesatuan ataukah merombak logika negara kesatuan agar sesuai dengan logika
disentralisasi federalis karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan
perundang-undangan akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.
Namun demikian walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut
bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan Undang-Undang 32 Tahun 2004,
tetapi tetaplah status otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka negara
kesatuan Republik Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan,
sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan. Selain itu diperlukan revisi UU 32
Tahun 2004 tentang pemerintah daerah agar mangakomodir disentralisasi asimetris
atau solusi payung hukum setingkat Instruksi Presiden (inpres) untuk
mengakomodasi konteks provinsi yang beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan
mereka ke kerangka otsus yang memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan
setingkat UU. Apa
yang akan dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh, memberikan bantuan
khusus dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi provinsi
Kepulauan Riau, peningkatan kesejahteraan wilayah perbatasan Kalimantan Barat,
pendekatan kultural dan historis Yogyakarta dan ibu kota negara DKI Jakarta,
bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris karena esesinya
karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit,
jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah.
Berdasarkan hasil penelitian Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM dengan
Yayasan TIFA yang menakar keberhasilan disentralisasi asimetris melalui
pendekatan kesejahteraan. Secara umum otonomi khusus Aceh telah mengarah kepada
penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan
keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak
butuh waktu lama bersaing dengan provinsi lain di Indonesia
tapi bandingkan otonomi khusus papua dengan dana otsus yang demikian besar
setelah duabelas tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang
signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua
tetap berada di peringkat terbawah. Ironisnya, perdasus tentang dana otsus tak
dibuat. Evaluasi pemerintah terhadap otsus yang seharusnya dilakukan tiga tahun
setelah diberlakukan: sampai kini tak ada.
Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Di tingkat pemerintah pusat, tak ada
keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada
penyelewengan dana otsus, Rp 380 miliar, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite
Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah tak perlu
dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana
otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.
Namun demikian demi mewujudkan prinsip equality
before the law (persamaan di depan hukum) dan persamaan
perlakuan (equal treatment), maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, harus segera
melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir
hanya dinikmati segelintir elite politik, baik ditingkatan lokal maupun pusat.
Selain itu perlu penguatan hubungan kelembagaan, baik pemerintah pusat
maupun daerah (Papua), sehingga desain besar pembangunan Papua mampu dijabarkan
pada tingkatan daerah. Regulasi yang lebih konsisten akan mendorong dana otsus
Papua tepat sasaran guna perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua,
penanggulangan kemiskinan, pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan
guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak, pembangunan fasilitas
kesehatan masyarakat, serta pembangunan suprastruktur dan infrastruktur yang
layak dan merata di seluruh daerah. Lebih penting lagi, memupuk kembali trust masyarakat Papua terhadap
pemerintah pusat agar terjalin sinergitas antar semua steakholder dalam membangunan Papua yang lebih baik dan memberikan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Kegagalan disentralisasi asimetris di
Papua akan memberikan tekanan bagi pemerintah pusat dan tentunya akan
memunculkan dorongan yang lebih kuat lagi untuk memerdekan diri sebagai suatu
negara yang terpisah dengan negara kesatuan republik Indonesia.
Kedepan pilihan model pengembangan desentralisasi assimetris dapat didesain
sebagai berikut:
a.
Model Desentralisasi Asimetris Penuh
Setiap daerah diperlakukan secara berbeda-beda karena
mengasumsikan adanya pluralisme yang sangat ekstrim yang harus direspons
Pemerintah Nasional. Level daerah yang didefinisikan sebagai asimetris juga
tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah seperti apa asimetris diberikan.
Model ini memang bisa menjawab keragaman daerah, namun juga berpotensi
menghasilkan anarkhisme dalam hubungan pusat daerah. Prasyarat pengembangan model
ini adalah kapasitas nasional yang sangat kuat dalam sipervisi
desentraisasi.
b.
Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan Sosial
Ekonomi
Kawasan-kawasan yang ada dijustifikasi secara berbeda
dengan mempetimbangkan beberapa ukuran, misalnya ukuran-ukuran yang bersifat
teknokratis, dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan ekonomi tertentu.
Secara lebih umum, pendefinisian model ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran
pembangunan dengan membedakan antara kawasan yang tertinggal. Dalam konteks Indonesia,
perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepulauan misalnya, akan bisa
menjadi pertimbangan atas bentuk asmetris yang akan dikembangkan. Contoh lain
dalam kategori ini adalah derajat kemajuan sosial-ekonomi, yang menghasilkan
kateori rural-urban. Pengembangan model ini akan menjadi jawaban untuk pengembangan kawasan dengan kemajuan
ekonomi dan persoalan urbanisasi yang sangat advanced. Penerapan model ini telah diaplikasikan provinsi
Kepulauan Riau dan provinsi Kalimantan Barat.
c.
Model Kombinasian Antara Otonomi Khusus dan Otonomi
Reguler
Model yang sangat jamak ditemui
adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara
pemerintah nasional dengan sub nasional yang mengarah ke gerakan-gerakan
pemisahan diri (secession) atau dikarenakan karakter daerah yang sangat
spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk desentralisasi yang
bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk daerah-daerah
tertentu. Pilihan terhadap model ini sudah dilakukan dalam kasus 4 daerah
khusus/istimewa.
Dari beberapa alternatif tersebut diatas, penulis berpendapat model
kombinasi otonomi khusus dan otonomi reguler perlu dikedepankan, dengan
desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus
untuk daerah-daerah tertentu. Namun demikian model asimetris berbasis kategori
kemajuan sosial ekonomi juga dapat menjadi solusi pengembangan disentralisasi
asimetris di Indonesia. Dengan wilayah nusantara yang terdiri dari seribu
pulau, maka perlu pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan
memberikan pendidikan yang berkualitas, diseluruh wilayah indonesia, terutama
di wilayah berbatasan langsung dengan negara lain, seperti provinsi Kalimantan
Barat. Dari berbagai pilihan model disentralisasi asimetris yang ada,
diperlukan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah sehingga daerah mampu
mendifinisikan kekhususan tersebut dan perlu diatur mengenai mekanisme
pengajuan kekhususan tersebut.
2.
Otonomi Daerah sebagai Instrument
Pemersatu Bangsa
Pada dasarnya negara selalu dihadapkan dua (2) hal
yang cita-cita sebuah negara, yakni kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan
rakyat merupakan parameter keberhasilan pemerintah daerah yang pimpinannya
dipilih secara demokratis. Otonomi daerah seluas-luasnya terlaksana dengan
pemanfaatan sumberdaya ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa
peningkatan kesejahteraan rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh. Otonomi
daerah secara umum sudah berlangsung lebih baik saat ini dibanding masa sebelum
tahun 1999, tetapi masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini
terdapat 3 (tiga) kelompok masalah besar:
a.
Tidak
tepat dalam hal pendekatan, sehingga masalahnya tidak dapat diatasi, misalnya
dengan cara mengharuskan UU sektoral untuk melakukan sinkronisasi.
b.
Pemerintah,
pemerintah daerah dan stakeholder lainnya sering melaksanakan UU No. 32 Tahun
2004 dengan tidak sebagaimana mestinya, sehingga sebaiknya UU ini direvisi
supaya dapat dilaksanakan dengan benar. Kesalahan itu misalnya pemerintah pusat
dan provinsi tetap gemuk, dan pemerintah kabupaten/kota masih banyak yang belum
memiliki pegawai yang terampil. 1 Juga ada beberapa usulan RUU yang
keperluannya harus dipikir kembali karena dianggap dapat diatur secara lebih
baik dalam satu UU tentang Pemerintahan Daerah, misalnya, pelayanan publik,
pembangunan daerah tertinggal, tata hubungan kewenangan pemerintah pusat dan
daerah, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah.
c.
Dari
pengalaman, kita belajar tentang banyak hal dimana sistem pengaturan pemerintah
daerah dapat lebih disempurn misalnya dalam hal pembentukan organisasi, fungsi
kecamatan, manajemen kinerja pelayanan publik, dan lain-lain.
Tentu dalam perjalanannya sistem disentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia mengalami berbagai hambatan, seperti yang disebut
diatas tapi itu menjadi penting dimasa transisi seperti saat ini, karena pada
dasarnya pengalaman adalah guru terbaik sehingga dari pengalaman tersebut,
Indonesia mampu menemukan konsep ideal disentralisasi, bahkan negara Amerika
Serikat butuh 300 tahun membangun sistem demokrasinya. Oleh karena itu selalu
dibutuhkan proses menuju konsep yang ideal karena pada dasarnya tidak ada
sesuatu yang langsung jadi dan tidak ada yang tidak jadi sama sekali. Indonesia
selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula
desentralisasi asimetris. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan
dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1 & 2). Dalam Pasal 18A ayat (1)
diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 18B
ayat (1 & 2) diatur bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa diakui dan dihormati.
Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004,
dikenal 2 sistem otonomi daerah, yang pertama otonomi khusus (disentralisasi
asimetris) seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta,
Papua, Aceh dan yang kedua otonomi daerah. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme
berjalan menurut bingkai perundangan yang dirancang dengan memperhatikan
kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah karakteristik
dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup,
ketertinggalan, dan aspek politis. Aspek
politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena
secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi
ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan
BC Smith menyebutnya a glue of national integration.
Pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darussalam
diawali oleh gerakan separatis/pemberontakan oleh Organisasi Papua Merdeka dan
Gerakan Aceh Merdeka. Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat gerakan
separatis lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa Jakarta melakukan
perubahan mendasar format hubungan Jakarta dengan daerah ketimbang sebuah
hasrat untuk memisahkan diri yang memang inherent dalam setiap gerakan separatis.
Pemberian otonomi secara luas kepada daerah-daerah merupakan salah satu
instrument pemersatu bangsa untuk mencapai stabilitas dan membuka kemungkinan
bagi proses demokratisasi secara menyeluruh. Di Spanyol melakukannya selepas
meninggalnya Franco. Jerman bahkan dipaksa menerima sebuah format federasi
ketika sekutu menaklukannya dalam perang Dunia ke II. Philipina, berusaha
mengakhiri pemberontakan panjang di Mindanau dengan merancang sebuah format
hubungan khusus antara Manila dengan kawasan yang dikuasai separatis Muslim
ini.
Stabilitasi sistem dapat tercapai melalui pengaturan politik dan pemerintahan
disentralisasi bahkan federatif karena didalam format yang ada dapat
mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing of revenue,
empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas
kedaerahan. Tapi
perlu diingat pemberian otonomi khusus dan pemekaran daerah dapat mendorong sentimen
primordial yang bersifat kesukuan yang berlebih-lebihan, berpotensi hilangnya
semangat ke Indonesiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi-diskusi yang diselenggarakan
tercatat sejumlah permasalahan Desentralisasi Indonesia, antara lain:
a. Ketidakjelasan pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yangg berakibat pada
perbedaan interprestasi, tumpang tindih, dan tarik menarik kewenangan antar
level pemerintahan;
b. Kerancuan yang terjadi menyusul
model susunan pemerintahan yang menempatkan provinsi sebagai daerah otonom
sebagaimana kabupaten/kota, padahal wilayah provinsi meliputi wilayah
kabupaten/kota, dan pada saat bersamaan juga merupakan wakil pempus di daerah;
c. Situasi pembuatan kebijakan
desentralisasi/otonomi daerah yg cenderung terpecah-pecah sehingga menghasilkan
pert uu-an yang saling bertentangan atau tidak tepat sasaran, baik dalam
lingkup nasional maupun lokal;
d. Kecenderungan pemerintah nasional
tidak melakukan penyesuaian kelembagaan dengan rezim desentralisasi sehingga
yang terjadi justru “pembengkakan” struktur kelembagaan di pusat;
e. Pembagian kewenangan yang menjadi
urusan wajib dan urusan pilihan yang belum jelas dan cenderung seragam untuk
seluruh daerah sehingga banyak menimbulkan banyak kesulitan karena tak
seluruhnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah;
f. Banyaknya urusan pemerintahan yang
mensyaratkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria), dimana kelambanan di
departemen sektoral dlm NSPK berimbas pada tidak adanya standar kualitas
penyelenggaraan urusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Walaupun ada
keleluasaan bagi daerah untuk bergerak sebelum NSPK keluar, namun sangat
sedikit daerah yang berinovasi untuk menetapkan sendiri kualitas pelayanan
publik. Selain itu, dalam pelaksanaannya di Indonesia terdapat sejumlah tantangan Desentralisasi,
yaitu Problem Uniformitas yang dirinci
sebagai berikut:
·
Desain
tunggal desentralisasi di tengah keberagaman karakteristik dan kebutuhan lokal
tidak menjadi jawaban atas variasi tantangan lokal Indonesia;
·
Karakteristik
khusus misalnya Daerah kepulauan, daerah perbatasan, kawasan rawan bencana,
kawasan-kawan dengan keunikan budaya dan kesejarahan, daerah-daerah dgn
keterbatasan kapasitas dalam pengelolaan
fungsi dasar pemerintahan, daerah-daerah
yang menyimpan konflik dengan nasional.
·
Daerah-daerah
tersebut, uniformitas desain desentralisasi gagal menjadi kerangka untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.
·
Perlu
pemikiran alternatif bagaimana model desentralisasi.
Konsep disentralisasi asimetris perlu didorong sebagai
altenatif desain disentralisasi kedepan sebagai jawaban atas berbagai
karateristik daerah-daerah di Indonesia.
BAB
III
Kesimpulan
Konsep
disentralisasi asimetris perlu dikedepankan guna mensejahterahkan rakyat,
dengan karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan
sulit, jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah. Provinsi Papua, Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Daerah IstimewaYogyakarta
dan DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio
bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris.
Cakupan disentralisasi asimetris diberlakukan
di level provinsi karena kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam peraturan
perundangan-perundang pemerintahan selama ini dan tidak menciptakan hubungan
berbeda pemrintah pusat-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota sehingga
hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Saran
Demi
tercapainya tujuan disentralisasi dan otonomi daerah diperlukan kepemimpinan
yang beritegritas dan berkompeten, pembangunan sistem yang ideal tanpa didukung
kepemimpinan yang berintegritas tinggi dan berkompeten akan menghambat
pencapain cita-cita disentralisasi dan otonomi.
Perlu penyelelarasakan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan pelaksanaan disentralisasi karena pada
dasarnya disharmonisasi peraturan perundang-undangan akan berimplikasi
bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.