Selasa, 28 Oktober 2014

Meneropong “Kabinet Kerja”

Oleh : Samsul Arifin
Selasa, 28 Oktober, 2014

Meneropong “Kabinet Kerja”
Masih tergambar dengan jelas bagaimana hingar-bingar meriahnya euforia perayaan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Yusuf Kalla periode 2014-2019 pada Senin 20 Oktober kemaren, besar dan meriahnya euforia oleh rakyat tersebut secara tersirat tidak dapat dimaknai sebagai perayaan rakyat terhadap sah nya Jokowi-Yusuf Kalla menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden baru semata, melainkan harus mampu ditangkap dan dipahami sebagai gambaran besar wujud espektasi rakyat Indonesia terhadap amanah yang diembannya, karena pada dasarnya perayaan tidak di letakkan pada saat start perjuangan tetapi diletakkan pada saat perjuangan sudah mencapai garis finis dengan syarat disertai prestasi yang memuaskan bagi bangsa ini. Besarnya ekspektasi rakyat terhadap pemerintahan baru yang dinahkodai oleh Jokowi-Yusuf Kalla ini bukanlah pengharapan besar halusinasif semata dan tanpa dasar akan perubahan serta kemajuan bangsa ini, mengingat ekpektasi tersebut merupakan hal yang wajar sebagai pantulan balik yang sinergis dengan apa yang Jokowi-Yusuf Kalla sampaikan disaat kampanye Pilpres seperti dalam hal pengentasan kemiskinan, kedaulatan energy, pemberdayaan ekonomi kreatif, penegakan hukum serta pemberantasan korupsi dan lain sebagainya. Espektasi besar rakyat tersebut harus mampu dirawat dan dijawab dengan baik oleh pemerintahan saat ini tidak hanya dalam lima tahun mendatang tetapi juga dalam mengawali pemerintahan sekarang, karena jika tidak, maka sangat dimungkinkan ekspektasi besar tersebut bereksodus kearah distrust yang dibalut kekecewaan rakyat. Dalam mengawali langkah pemerintahannya Presiden Jokowi tidak banyak mengalami hambatan dan sandungan yang sangat berarti, hal tersebut tidak terlepas dari proses tansisi dari pemerintahan sebelumnya terhadap pemerintahan sekarang berjalan lancar yang patut di apresiasi setinggi mungkin. Dan yang menjadi bacaan rakyat Indonesia sekarang yang meletakkan harapan besar pada pundak pemerintahan baru ini, ialah bagaimana Jokowi menyusun kabinet nya (kabinet kerja), karena disitulah sebenarnya rakyat dapat menakar langkah awal Presiden Jokowi dalam menyongsong pemerintahannya sampai lima tahun yang akan datang, apakah pos-pos “kabinet kerja” yang sudah terbentuk di isi oleh person-person yang layak dan profesional berdasarkan kompetensi dan track record nya, bukan hannya karena kedekatan emosional politis semata, karena tidak dapat dipungkiri kita pernah memiliki pengalaman traumatik berkaitan dengan ditetapkannya tiga menteri sebagai tersangka korupsi oleh KPK bahkan ada yang sudah di vonis oleh tipikor pada era pemerintahan sebelumnya yang ketiga-tiganya berasal dari partai politik pendukung pemerintahan, walaupun hal tersebut tidak mesti menjadi patokan utama terjadinya tindak pidana korupsi, karena tidak ada jaminan utuh bahwa menteri dari partai politik dan menteri dari kalangan professional untuk selalu bersih dari potensi korupsi, akan tetapi setidaknya kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi.

Pelibatan KPK dan PPATK
Penyusunan kabinet atau menteri merupakan derefasi praktikal konstitusional karena sudah menjadi pranata konstistusi seperti yang termaktub dalam Pasal 17 UUD 1945, dimana dalam hal ini Presiden diberikan hak istimewa yakni hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Berkaitan dengan penyusunan kabinet pemerintahan Presiden Jokowi yang sudah terbentuk dengan nama “kabinet kerja” tersebut menarik untuk disimak, mengingat Presiden melibatkankan lembaga Negara lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK untuk dimintai report terkait rekam jejak calon menteri-menterinya untuk memastikan apakah bersih dari keterkaitan tindak pidana korupsi atau tidak. Dari prosesi rekruitmen menteri-menteri dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK yang tidak pernah dilakukan Presiden sebelumnya ini, walaupun report dari KPK menyatakan ada beberapa nama calon menteri yang disodorkan oleh Presiden Jokowi mendapat stabilo kuning dan merah artinya tidak rekomended untuk diplot sebagai menteri, tetapi dalam prosesi ini pada permukaan secara tersirat dapat ditangkap niatan dan maksud baik Presiden Jokowi untuk menyusun kabinet yang bersih, akan tetapi disisi lain ada beberapa hal yang patut dinilai lebih mendalam lagi yakni:
  • Mengingat KPK dan PPATK dalam menyampaikan report secara tertutup terhadap Presiden terkait nama-nama calon menterinya sehingga publik tidak tahu apakah Presiden masih mengangkat nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah atau kuning dari KPK, maka dari itu KPK dan PPATK hendaknya segera mengumumkan hasil report nya kepada publik, karena publik berhak tahu terhadap transparansi proses ini tanpa sedikitpun mengurangi hak prerogatif presiden
  • Hasil report KPK terkait nama-nama menteri yang mendapat stabilo kuning atau merah baik yang diserahkan secara tertutup terhadap Presiden dan atau nantinya di umumkan kepada publik oleh KPK bisa berdampak pada ketidak terpilihan yang bersangkutan sebagai menteri dalam “kabinet kerja” dan atau nantinya menyebabkan penghakiman (judge) tanpa adanya proses peradilan, padahal setiap orang dilindungi oleh asas presumption of innocence dari penghakiman sebelum adanya proses peradilan. Oleh karena itu KPK hendaknya mengumumkan hasil report nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah, kuning tersebut agar publik tahu apakah nama-nama tersebut masih dipakek atau tidak dalam “kabinet kerja”. Tetapi dengan catatan KPK harus disertai dengan langkah penegakan hukum terhadap nama-nama mantan calon menteri dan menteri terpilih yang mendapat stabilo merah atau kuning tersebut, agar KPK tidak sewenang-wenang merusak nama baik seseorang tanpa memprosesnya secara hukum.

Kabinet refresentatif
Dalam perspektif postur pemerintahan akomodatif idealnya postur kabinet itu di isi oleh person-person yang merefrentasikan semua elemen bangsa dan Negara ini seperti komposisi lembaga perwkilan di parlemen namun keduanya merupakan lembaga Negara dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda, yang menjadi soal adalah dengan postur kabinet yang hanya terdiri dari 34 pos kementrian apakah mampu untuk mengakomodasi semua elemen perwakilan suku dan anak bangsa? Dapat kita bayangkan dengan jumlah suku yang ada di Indonesia kurang lebih 1.128 suku bangsa, terlebih semisal dari perwakilan suku bangsa tersebut meminta agar diakomodasi dalam kabinet, hal yang mustahil untuk mengakomodasi seluruhnya. Oleh karena itu penulis berpandangan bahwa kabinet yang baik itu bukan kabinet yang penyusunannya didasarkan pada hal yang sifatnya akomodatif sebagai pertimbangan utamanya tetapi kabinet yang penyusunan nya didasarkan pada pertimbangan kelayakan, kompetensi yang menjadi hak prerogatif Presiden untuk menetukan mengangkatnya, oleh karena itu yang tidak terpilih menjadi menteri terkecuali yang terkena stabilo merah atau kuning KPK bukan karena tidak layak dan tidak memiliki kompetensi melainkan bisa jadi karena satu dua hal yang hanya Presiden yang memahaminya.
dan semoga kabinet kerja ini benar-benar telah di isi oleh sosok-sosok yang layak, kompeten, serta profresional sehingga mampu mewujudkan espektasi besar rakyat Indonesia, atau setidak-tidaknya merealisasikan menunaikan janji-janji politik Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla seperti yang dikampanyekan.
Sekian terimakasih,
Selamat hari Sumpah Pemuda….!!!




Jumat, 24 Oktober 2014

Penggunaan Asas Diskresi atau Freies Ermessen Dalam Perspektif Yuridis



BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, salah satunya ialah mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu pembangunan terus-menerus dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut seperti yang telah digaris bawahi dalam pembukaan UUD RI 1945. Konskuensi yuridis Indonesia sebagai Negara hukum, segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan nasional tersebut harus mengacu atau dilandasi oleh hukum sebagai pijakannya, bijakan hukum yang dimaksud  bisa berupa produk hukum yang bersifat keputusan/ketetapan (beschikking) dan mengatur (regeling). Desakan kewajiban dalam menjalakan amanah mensejahterakan rakyat menyebabkan  intensitas dan continuitas dalam upaya untuk menyusun suatu tatanan kehidupan yang baru di Indonesia melalui pembangunan dan modernisasi memberikan pengaruh yang luar biasa bagi aspek hukum di Indonesia karena setiap kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan nasional tersebut dapat dipastikan melibatkan ruang hukum, hal ini sebagai cerminan garis bawah, bahwa dalam upaya mewujudkan mensejehterakan rakyat dapat dipastikan akan terjadinya hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah sebagai pelaku, pemegang kebijakan sekalugus melekat padanya kewajiban fungsi pelayanan publik (public service) dengan rakyat sebagai objek sekaligus subjek dalam pembangunan itu sendiri dalam pembangunan tersebut.
Dikarenakan pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam pembangunan memiliki fungsi “public service” ini, maka pemerintah tidak saja melaksanakan peraturan perundangan –undangan itu sendiri. Oleh karenanya pemerintah berhak menciptakan kaidah hukum konkrit yang dimaksudkan guna mewujudkan tujuan peraturan perundang – undangan.[1] Maka dari itu keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan – persoalan yang menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut, hal ini tampak pada segi pengaturan oleh hukum, baik dari aspek legitimasinya, maupun aspek keefektifan penerapannnya.[2]
Melekatnya fungsi pelayanan publik (public service) terhadap pemerintah memberikan konsekuensi tersendiri khususnya terkaid hukum administrasi Negara, terkadang administrasi Negara itu membutuhkan ruang gerak yang merdeka untuk dapat bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul tiba-tibadan yang peraturannnya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislasi. Dalam hukum administrasi Negara disebut dengan “pouvoirdiscrectionnaire” atau “freies ermessen” atau asas diskresi. Istilah ini mengandung kewajiban dan kekuasaan yang luas, yaitu terhadap tindakan yang akan dilakukan dan kebebasan untuk memilih melakukan atau tidak terhadap kondisi yang membutuhkan kebijakan administratif tersebut. Oleh karena itu penulis menganggap keberadaan atau penggunaan diskresi (“pouvoirdiscrectionnaire” atau “freies ermessen”) ini menarik untuk dikaji dari perspektif yuridisnya.



2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
Bagaimanakah penggunaan diskresi (“pouvoirdiscrectionnaire” atau “freies ermessen) dalam perspektif yuridis ?

















BAB II
Pembahasan
1.      Pengertian Diskresi
Pada dasarnya pengertian diskresi secara bahasa sama dengan kata pouvoir discretionnaire, (Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman), secara bahasa kata “Freies Ermessen” terdiri dari dua kata yaitu frei dan ermessen, Frei artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka, jadi Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan Ermessen artinya memper-timbangkan sesuatu. Istilah freies ermessen juga sepadan dengankata discretionnaire, yang artinya kebijaksanaan. Beberapa pakar memberikan definisi tentang diskresi, semisal Saut P. Panjaitan, menyatakan bahwa diskresi merupakan pouvoir discretionnaire, (Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman), Jadi diskresi atau Freies Ermessen ialah merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Sedangkan Prof. Benyamin, menyatakan bahwa diskresi merupakan kebebasan pejabat  untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi. Laica Marzuki mengatakan bahwa freies ermessen adalahmerupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negaradalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan denganmeningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikantata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi parawarga yang kian komplek.[3]

2.      Parameter Toleransi Diskresi atau Freies Ermessen
Pada dasarnya Diskresi atau Freies Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya kepada perundang-undangan, atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid),[4] artinya subyek atau penyelenggara administrasi Negara diberi kebebasan dan ruang gerak untuk melakukan terobosan berupa tindakan administrasi diluar yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku dengan catatan dalam keadaan tertentu tindakan dan keputusan administrasi tersebut dikeluarkan, adapun bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat penetapan, dan lain-lain.
Penggunaan diskresi atau Freies Ermessen sangat rentan disalahgunakan oleh organ-organ kekuasaan khususnya eksekutif yang dalam hal ini sebagai organ dan subjek yang memiliki kewenangan mengeluarkan kebijakan hukum, oleh karena itu dibutuhkan parameter khusus dan tolak ukur bagi eksekutif untuk mengeluarkan kebijakan hukumnya tersebut, berkaitan dengan parameter pembatasan penggunaan diskresi ini Ridwan berpendapat bahwa diskresi atau Freies Ermessen digunakan dalam tiga hal yaitu:[5]
a.       Kondisi darurat yang tidak mungkin menerapkan hukum tertulis;
b.      Tidak ada atau belum ada peraturan yang mengaturnya; dan
c.       Sudah ada peraturannya namun redaksinya samar dan multytafsir (vaque; not clearly expressed, inexplicit. Ambiguous; open to more than one interpretation; doubtful or uncertain).
J.B.J.M. Ten Berge mengatakan bahwa kebebasan administrasi ini mencakup kebebasan interpretasi (interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid). Interpretatieverijheid mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki oleh organ pemerintahan untuk menginterpretasikan suatu undang-undang, adapun beoordelingsvrijheid muncul ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan terhadap persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ pemerintah, sedangkan beleidsvrijheid lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan intervensi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Berkaitan dengan parameter pembatasan pelaksanaan diskresi oleh organ pemerintahan (kesekutif), Prof. Muchsan, membagi kedalam 4 (empat) hal, yaitu:
a.       Apabila terjadi kekosongan hukum;
b.       Adanya kebebasan interprestasi;
c.        Adanya delegasi perundang-undangan;
d.      Demi pemenuhan kepentingan umum.
Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya Diskresi yaitu:[6]
a.       Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya;
b.      Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum;
c.       Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-undang, penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat.
Dalam Rancangan Undang-Undang Diskresi juga disebutkan poin-poin apa saja yang membatasi Diskresi berikut poin-poin tersebut:
a.       hak yang dimiliki seseorang pejabat yang memiliki kewenangan delegasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan seseorang pejabat,
b.      untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum, atau bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat,
c.       karena konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku belum jelas atau belum mengatur;


3.      Penggunaan Diskresi (Freies Ermessen) Dalam Pembentukan Produk Hukum Dalam Perspektif Yuridis
Pada dasarnya penyelenggaraan negara harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat bukan berorientasi pada kepentingan golongan dan kelompok oleh karena itu untuk mewujudkan orientasi penyelenggaraan negara tersebut dalam Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa Azas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah azas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam Bab III Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 menyebutkan Azas-Azas Umum Penyelenggaraan Negara meliputi :
a.       Azas Kepastian Hukum ;
b.      Azas Tertib Penyelenggaran Pemerintahan ;
c.       Azas Kepentingan Umum ;
d.      Azas Keterbukaan ;
e.       Azas Proporsionalitas;
f.       Azas Profesionalitas;
g.      Azas Akuntabilitas.
Dalam penjelasan dari Pasal 3 dijelaskan yang dimaksud dengan  Azas Kepastian Hukum adalah azas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Pemerintah, akan tetapi dalam implementasi asas kepastian hukum ini harus sinergis dengan asas-asas umum perintahan yang baik lainnya semisal harus sinergi dengan asas kepentingan umum, ketika dalam hal  keadaan terjadinya kekosongan hukum dan hukumnya tidak jelas sedangkan kepentingan umum atau masyarakat membutuhkan legitimasi pemerintah dengan kebijakan hukumnya maka dalam keadaan seperti ini organ penyelenggara pemerintahan dibenarkan mengeluarkan kebijakan hukum yang tidak terikat pada perundang-undangan yang berlaku atau disebut dengan diskresi Freies Ermessen dalam pembentukan produk atau kebijakan hukum.
Asas diskresi atau Freies Ermessen yang dimiliki oleh organ penyelenggara pemerintahan mempunyai konsekuensi tersendiri dibidang perundang-undangan yakni berupa penyerahan kekuasaan legislatif pada pada pemerintah (eksekutif)sehingga dalam keadaan tertentu dan/atau dalam porsi dan tingkat tertentu pemerintah dapat mengeluarkan produk hukum atau peraturan perundangan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari parlemen. Menurut E. Utrecht. Ada beberapa implikasi dalam bidang erundang-undangan yang bisa dimiliki pemerintah berdasarkan Freies Ermessen, yaitu:[7]
a.       Kewenangan atas inisiatif sendiri yaitu kewenangan yang membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan undang-undangtanpa meminta persetujuan dari parlemen terlebih dahulu, dan
b.      kewenangan karena delegasi perundang-undangan dari UUD yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang dan yang berisi masalah-masalah untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang ada dalam satu undang-undang.
Menurut Prof. Muchsan, asas diskresi harus berlandaskan pada 2 (dua) hal:
a.       Landasan Yuridis.
b.      Kebijakan.
Kebijakan disini dibagi menjadi dua kategori, pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut) yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat tidak mutlak (relatif), hal ini dapat terjadi karena hukumnya tidak jelas. Dalam diskresi atau Freies Ermessen dikenal juga Extraordinary freies ermessen, dimana Extraordinary freies ermessenini dapat dilakukan sepanjang memenuhi criteria syarat-syarat yang sifatnya integral dan akumulatif, yakni sebagai  berikut:
a.       Adanya kondisi darurat yang nyata sangat akut dan tiba-tiba.
b.      Ketiadaan pilihan lain kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum.
c.       Kerugian yang ditimbulkan akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan tujuan atau maksud dilakukannya tindakan tersebut.
d.      Tindakan tersebut hanya untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi, dan pihak yang dirugikan juga dalam jumlah yang sangat sedikit.
e.       Adanya kompensasi.
Adapun contaoh contoh diskresi positif yang dilakukan oleh aparat pemerintah ialah Sopir pemadam kebakaran yang melanggar rambu-rambu lalu lintas seperti menerobos lampu merah dan kecepatan melebihi batas yang ditentukan, akan tetapi polisi memberikan sanksi atau tilang  karena pada saat yang bersamaan terjadi kebakaran di pemukiman penduduk yang membutuhkan pertolongan dengan segera, atau Seseorang tidak ditilang oleh Polisi meski melanggar lampu merah serta batas kecepatan karena sedang dalam situasi darurat mengantarkan seorang ibu yang hendak melahirkan.








BAB III

Kesimpulan
Dalam menyelenggarakan pemerintahan harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, dengan demikian harus mengacu pada asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang salah satu poinnya dalam penyelenggaraan pemerintahan harus menekankan pada kepastian hukum, akan tetapi dalam kondisi tertentu organ penyelenggara pemerintahan boleh mengeluarkan kebijakan hukum yang tidak terikat pada peraturan perundang-undangan, yang kemudian dikenal dengan istilah diskresi atau freies ermessen dalam pembentukan produk hukum oleh penyelenggara pemerintahan, adapun yang dimaksud dalam hal keadaan tertentu disini yang dapat dijadikan dasar menggunakan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum oleh penyelenggara pemerintahan ialah apabila terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan interprestasi, adanya delegasi perundang-undangan, dan demi pemenuhan kepentingan umum.
Saran
Dalam hal keadaan tertantu seperti yang di jelaskan pada kesimpulan diatas organ penyelenggara pemerintahan dipandang perlu untuk menggunakan asas diskresi atau freies ermessen dalam mengeluarkan kebijakan hukum, akan tetapi penyalahgunaan wewenang oleh organ penyelenggara pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi atau freies ermessen sangat potensial terjadi, oleh karena itu menjadi saran penulis bagi masyarakat dan organ pemerintahan yang secara struktural berada diatasnya untuk berpartisipasi dan mengawasi setiap penggunaan asas diskresi atau freies ermessen  dalam pembentukan kebijakan hukum atau produk hukum yang akan dikeluarkan.


[1] Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara DiIndonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.32
[2] Sunggono Bambang, 1994,  Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.1
[3] Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta,  UII Press, hlm. 133

[4] Ridwan, 2009,  Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta, FH UII Press, hlm. 81
[5] Ibid
[6] http:///Just Kazz Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pembuatan Produk Hukum.htm, diakses pada hari rabu 16 maret 2014 pukul : 15:02

[7] SF. Marbun & Moh. Mahfud MD, 1987,  Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, hlm. 46-47

Selasa, 21 Oktober 2014

Konsepsi Disentralisasi Asimetris Dalam Kerangka Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia



Oleh : Samsul Arifin (Pelajar Hukum Tata Negara)
BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang artinya negara Indonesia  sebagai suatu kesatuan utuh negara yang terdiri dari wilayah provinsi, kabupaten dan kota. Pembagian menjadi daerah-daerah tersebut tidak mengakibatkan terjadinya pembagian kedaulatan atau dengan kata lain tidak ada Negara lain di dalam wilayah Republik Indonesia. Pembagian tersebut hanya pada sistem pemerintahannya, sehingga menjadi satuan pemerintahan nasional (pusat) dan satuan pemerintahan sub nasional (daerah), yaitu provinsi dan kabupaten dan kota.[1]
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang besar kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah (Peraturan Daerah) dan bukan merupakan suatu kedaulatan tersendiri seperti dalam sistem federal. Asas desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat setempat.[2]
Pada dasarnya, suatu daerah dapat disebut otonom bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
1.      Sebagai suatu zelfstandigestaats rechtelijke organisatie yang dicerminkan pada keuangan, pembiayaan dan dimilikinya Dinas Daerah.
2.      Dari sisi hukum: adalah badan hukum (rechtspersoon), sehingga memiliki kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan mengenai kekayaan (vermogensrecht), kekuasaan hukum (rechtsbevoegd) dan dapat bertindak (handelingsbekwaam).
3.      Sebagai badan hukum dapat dituntut dan menuntut pihak lain dipengadilan, memiliki anggaran sendiri dengan rekening yang terpisah dari rekening Pemerintah Pusat, memiliki wewenang untuk mengalokasikan sumber-sumber yang substansial.
4.      Mengemban multifungsi yang merupakan pembeda utama antara daerah otonom dengan lembaga yang terbentuk dalam rangka desentralisasi fungsional.
5.      Penyelenggara desentralisasi adalah Pemerintah Pusat. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, yang dapat dilakukan oleh suatu daerah otonom adalah menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan. Kewenangan tersebut merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh daerah yang melingkupi wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan bidang-bidang kehidupan yang terliput dalam wewenangnya (scope of power) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan peraturan perundang-undangan.[3]

Daerah semakin gencar untuk menuntut ruang kekuasaan yang lebih besar dengan mengajukan pemekaran daerah dan otonomi khusus sebagai bagian proses politik dan pembagian kekuasaan elite politik di tingkat lokal. Disentralisasi dan otonomi daerah diharapkan menjadi instrumen pemersatu bangsa, malah dewasa ini menimbulkan begitu banyak efek negatif, dimulai dari konflik horizontal sampai pada banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. Terkhusus kasus korupsi kepala daerah. Prinsip disentralisasi melalui pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau sering disebut otonomi daerah seharusnya mampu mendekatkan masyarakat dengan pemimpinnya namun demikian ternyata dimaknai hanya sebagai pelimpahan kewenangan yang berakibat munculnya raja-raja baru di daerah. Oleh karena itu disentralisasi dan otonomi daerah malah kerap disebut sebagai disentralisasi korupsi akibat perpindahan locus penyelewenangan kekuasaan dari pusat ke daerah.[4] Oleh karena itu menarik bagi penulis dalam penulisan makalah ini mengangkat judul “Konsepsi Disentralisasi asimetris dalam kerangka penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.










2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Konsepsi Disentralisasi asimetris dalam kerangka penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
























BAB II
Pembahasan
1.      Konsepsi Disentralisasi asimetris dalam kerangka penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kita mengenal otonomi khusus seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh serta DKI tapi bagaimana dengan daerah lain yang memiliki dinamika dan kekhasan tersendiri, misalnya provinsi Bali dengan budaya dan pariwisata, Kepulauan Riau yang daratannya 4,21 persen saja dari wilayah kepulauannya, Kutai Kartanegara yang menuntut otonomi khusus karena merasa mempunyai income perkapita tinggi, basis ekonomi yang kuat, basis material yang kuat dan Solo yang juga menuntut otonomi khusus sebagai daerah istimewa karena memiliki kekhasan kebudayaan dan historis.
Inti dari disentralisasi asimetris ialah terbukanya ruang gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Pertanyaan selanjutnya apakah sistem desentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi seperti yang terjadi saat ini di provinsi DIY, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua ataukah di level kabupaten/kota  karena pada dasanya kekhasan dibidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, bisa ditemukan diwilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Menurut Mas’ud Said disentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi karena kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan pemerintahan selama ini.[5] Dan diletakkannya otonomi khusus di level provinsi agar tidak menciptakan hubungan berbeda pemerintah pusat-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Negara harus mampu mengakomodasi berbagai kekhususan dan dinamika yang dimiliki masing-masing daerah karena dikuatirkan akan membawa berbagai konsekuensi yang merugikan masa depan rakyat di daerah dalam menjelmakan kesejahteraan terkait dengan keragaman potensi daerah, social budaya, etnis, geografis, ekonomi dan social politik. Pada dasarnya UUD RI 1945 memberikan peluang penerapan disentralisasi asimetris melalui ketentuan pasal 18B Ayat 1 dan 2 yang menekankan kekhususan, keistimewaan, keberagaman daerah, serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat  dan hak-hak tradisional. Berdasarkan penelitian  Jurusan Politik dan Pemerintahan  Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) berkerja sama dengan Tifa Foundation desain asimetrisme dapat didasarkan atas pertimbangan konflik, kebudayaan, ekonomi, perbatasan dan ibukota negara[6].
Pemberlakukan disentralisasi asimetris merupakan respon terhadap ancaman disintergrasi bangsa. Berawal dari penghianatan atas negara hukum (recht staat) berlaku pada orde lama, orde baru sampai dengan era reformasi. Ketiadaan hukum bermula dibidang politik pada 1965 saat negara menjelma menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini tentu menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) masyarakat terhadap para pemimpinnya, rezim boleh berubah tapi ternyata korupsi tetap saja merajalela di negeri ini dan Indonesia seolah-olah hanyalah Jakarta serta mengenyampingkan keberadaan daera-daerah lain. Ketidakpercayaan memunculkan berbagai perlawanan dari masyarakat atau (sosial force) diberbagai belahan negeri ini. Keadaan yang sudah kacau balau seperti ini tentu mengkhawatirkan dan paling menakutkan dari akumulasi dis-orientasi, distrust dan social force adalah disintegrasi bangsa. Diujung timur indonesia rakyat Papua dan rakyat Aceh berusaha melawan kesewanang-wenangan penguasa, kedua daerah tersebut berusaha memisahkan diri dari negara kesatuan republik Indonesia melalui upaya militer. Oleh karena itu untuk menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia dan mencegah disintegrasi bangsa, maka diterapkan disentralisasi asimetris melalui pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe  Aceh Darussalam.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Isipol UGM, menemukan adanya praktik otonomi dan kekhususan di beberapa daerah, antara lain, di Aceh, Batam, Daerah Khusus Ibu Kota, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat, dan Papua. Penerapan desentralisasi asimetris itu sangat tergantung pada kekuatan leadership (kepemimpinan), bahkan capaian politik sangat ditentukan oleh kekuatan figur dan lobi politik. Sebagaimana dicontohkan, munculnya kewenangan desentralisasi khusus di daerah pada awalnya dilakukan oleh tokoh, antara lain, Teuku Daud Beureuh dan Hasan Tiro di NAD, Ali Sadikin dan Sutiyoso di DKI, Hamengku Buwono IX di Daerah Istimewa Yogyakarta, serta Sultan Hamid II di Kalimantan Barat[7]. Orang-orang ini mengawal desentralisasi asimetris. Disentralisasi asimetris dapat dimaknai dengan berbagai mekanisme, misalnya sistem pemerintahan di DIY yang bercorak monarkhi konstitusional, dimana mekanisme pengisian jabatan kepala daerah DIY dengan penetapan di DPRD dan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh  Sultan Hamengku Bowono yang bertakhta untuk calon Gubernur dan yang bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur DIY[8], Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan syariah islam dan memiliki sistem kepartaian ditingkat lokal yang lekat dalam sistim disentralisasi federalis dan di Papua yang disyaratkan  hanya orang asli papua yang dapat mencalaonkan diri sebagai calon gubernur Papua dan sebagainya. Disinilah yang menjadi problem ketika logika negara kesatuan, seperti yang ditegaskan dalam pasal 1 UUD RI 1945 mangatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan tapi dalam penerapan Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006 dan  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008  cenderung menerapkan sistem disentralisasi federalis.  Oleh karena itu logika ketetanegaraan Indonesia kerap goyah, inkonsistensi pun terjadi pada sistem pemerintahan Indonesia yang presidensil tapi dijalankan dengan sistem parlementer. 
Negara kesatuan dan negara federasi memiliki perbedaan yang fundamental, negara kesatuan bersusun tunggal dan urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan serta pemegang tertinggi dinegara adalah pemerintah pusat, sedangkan negara federasi bersusun jamak yang terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri serta pemerintahan sendiri. Negara serikat pemerintah negara bagian bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.[9]
C.F.Strong berpendapat bahwa sifat utama atau dasar negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi. Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the federal authority) dapat dilakukan dengan dua cara, tergantung dimana diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve of powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh negara-negara federal yang menerapkan sistem ini antara lain Amerika Serikat, Malaysia, Kanada dan sebagainya . Kedua, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah federal.[10]
Dalam kaitannya indonesia sebagai negara kesatuan, tentu  pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah. Distribution of power (pembagian kekuasaan) oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berimplikasi hampir semua kewenangan dilimpahkan ke daerah kecuali, politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.[11] Dalam hal ini peranan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan negara dan pemberian otonomi khusus kepada provinsi DIY, Nagroe Aceh Darussalam dan Papua sebagai bagian penerapan disentralisasi asimetris tapi sebagai negara kesatuan Indonesia tentu dibeberapa ketentuan pasal-pasal otonomi khusus lebih bercorak sistem federal, misalnya lembaga negara yang bersifat lokal Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh[12] dan Majelis Rakyat Papua (MRP) [13] yang lazimnya berada tingkatan pusat atau disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang diatur dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau biasa disebut dengan UU MD3.
Dalam pelaksanaan otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh dan Papua yang mengarah kepada bentuk negara federal diantaranya dalam ketentuan pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001 dan pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Aceh dan Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan. Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.
Produk hukum yang berlaku di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada tingkat yang lebih tinggi dan Peraturan Daerah Provinsi  (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 pada tingkat yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan sistem negara federal, maka Perdasus dapat dikategorikan sebagai undang-undang federal dan Perdasi sebagai peraturan pelaksananya[14]. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun. Sedangkan produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah “Qanun”. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dan Qanun Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten.
Merujuk pada ketentuan negara kesatuan yang memposisikan pemerintah pusat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi negara dan bukan malah sebaliknya, misalnya kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah. Pemerintah Pusat diharuskan untuk melakukan konsultasi dan mendapat pertimbangan Gubernur, tentu ini tidak sesuai dengan prinsip negara kesatuan, maka pilihan selanjutnya ialah merombak Undang-Undang provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Papua agar sesuai dengan prinsip negara kesatuan ataukah merombak logika negara kesatuan agar sesuai dengan logika disentralisasi federalis karena pada dasarnya diharmonisasi peraturan perundang-undangan akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.
Namun demikian walaupun kewenangan daerah otonomi khusus tersebut bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan Undang-Undang 32 Tahun 2004, tetapi tetaplah status otonomi khusus tersebut berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia yang mengutamakan persatuan dan kesatuan, sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan. Selain itu diperlukan revisi UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah agar mangakomodir disentralisasi asimetris atau solusi payung hukum setingkat Instruksi Presiden (inpres) untuk mengakomodasi konteks provinsi yang beragam di Indonesia tanpa perlu memasukkan mereka ke kerangka otsus yang memakan banyak biaya, infrastruktur, dan kebijakan setingkat UU[15]. Apa yang akan dilakukan oleh presiden untuk Papua dan Aceh, memberikan bantuan khusus dana perikanan, kelautan, dan perguruan tinggi maritim bagi provinsi Kepulauan Riau, peningkatan kesejahteraan wilayah perbatasan Kalimantan Barat, pendekatan kultural dan historis Yogyakarta dan ibu kota negara DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris karena esesinya karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit, jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah.
Berdasarkan hasil penelitian Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM dengan Yayasan TIFA yang menakar keberhasilan disentralisasi asimetris melalui pendekatan kesejahteraan. Secara umum otonomi khusus Aceh telah mengarah kepada penciptaan kesejahteraan. Dengan mekanisme pengawasan yang lebih tertata dan keseriusan mengelola asimetrisme lewat regulasi yang lebih teknis, Aceh tak butuh waktu lama bersaing dengan provinsi lain di Indonesia[16] tapi bandingkan otonomi khusus papua dengan dana otsus yang demikian besar setelah duabelas tahun tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Indeks Pembangunan Manusia dan seluruh indeks capaian MDG Papua tetap berada di peringkat terbawah. Ironisnya, perdasus tentang dana otsus tak dibuat. Evaluasi pemerintah terhadap otsus yang seharusnya dilakukan tiga tahun setelah diberlakukan: sampai kini tak ada[17]. Menariknya, dana otsus tetap disalurkan. Di tingkat pemerintah pusat, tak ada keseriusan menyelisik dana otsus. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada penyelewengan dana otsus, Rp 380 miliar, tak pernah diusut tuntas. Bagi elite Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah tak perlu dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka[18]. Namun demikian demi mewujudkan prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) dan persamaan perlakuan (equal treatment), maka  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, harus segera melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir hanya dinikmati segelintir elite politik, baik ditingkatan lokal maupun pusat.
Selain itu perlu penguatan hubungan kelembagaan, baik pemerintah pusat maupun daerah (Papua), sehingga desain besar pembangunan Papua mampu dijabarkan pada tingkatan daerah. Regulasi yang lebih konsisten akan mendorong dana otsus Papua tepat sasaran guna perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua, penanggulangan kemiskinan, pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak, pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat, serta pembangunan suprastruktur dan infrastruktur yang layak dan merata di seluruh daerah. Lebih penting lagi, memupuk kembali trust masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat agar terjalin sinergitas antar semua steakholder dalam membangunan Papua yang lebih baik dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua. Kegagalan disentralisasi asimetris di Papua akan memberikan tekanan bagi pemerintah pusat dan tentunya akan memunculkan dorongan yang lebih kuat lagi untuk memerdekan diri sebagai suatu negara yang terpisah dengan negara kesatuan republik Indonesia.
Kedepan pilihan model pengembangan desentralisasi assimetris dapat didesain sebagai berikut:[19] 
a.       Model Desentralisasi Asimetris Penuh
Setiap daerah diperlakukan secara berbeda-beda karena mengasumsikan adanya pluralisme yang sangat ekstrim yang harus direspons Pemerintah Nasional. Level daerah yang didefinisikan sebagai asimetris juga tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah seperti apa asimetris diberikan. Model ini memang bisa menjawab keragaman daerah, namun juga berpotensi menghasilkan anarkhisme dalam hubungan pusat daerah. Prasyarat pengembangan model ini adalah kapasitas nasional yang sangat kuat dalam sipervisi desentraisasi. 
b.      Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan Sosial Ekonomi
Kawasan-kawasan yang ada dijustifikasi secara berbeda dengan mempetimbangkan beberapa ukuran, misalnya ukuran-ukuran yang bersifat teknokratis, dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan ekonomi tertentu. Secara lebih umum, pendefinisian model ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran pembangunan dengan membedakan antara kawasan yang tertinggal. Dalam konteks Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepulauan misalnya, akan bisa menjadi pertimbangan atas bentuk asmetris yang akan dikembangkan. Contoh lain dalam kategori ini adalah derajat kemajuan sosial-ekonomi, yang menghasilkan kateori rural-urban. Pengembangan model ini akan menjadi jawaban  untuk pengembangan kawasan dengan kemajuan ekonomi dan persoalan urbanisasi yang sangat advanced. Penerapan model ini telah diaplikasikan provinsi Kepulauan Riau dan provinsi Kalimantan Barat. 
c.       Model Kombinasian Antara Otonomi Khusus dan Otonomi Reguler     
Model yang sangat jamak ditemui adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara pemerintah nasional dengan sub nasional yang mengarah ke gerakan-gerakan pemisahan diri (secession) atau dikarenakan karakter daerah yang sangat spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk daerah-daerah tertentu. Pilihan terhadap model ini sudah dilakukan dalam kasus 4 daerah khusus/istimewa.
Dari beberapa alternatif tersebut diatas, penulis berpendapat model kombinasi otonomi khusus dan otonomi reguler perlu dikedepankan, dengan desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk daerah-daerah tertentu. Namun demikian model asimetris berbasis kategori kemajuan sosial ekonomi juga dapat menjadi solusi pengembangan disentralisasi asimetris di Indonesia. Dengan wilayah nusantara yang terdiri dari seribu pulau, maka perlu pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan memberikan pendidikan yang berkualitas, diseluruh wilayah indonesia, terutama di wilayah berbatasan langsung dengan negara lain, seperti provinsi Kalimantan Barat. Dari berbagai pilihan model disentralisasi asimetris yang ada, diperlukan kesepahaman antara pemerintah pusat dan daerah sehingga daerah mampu mendifinisikan kekhususan tersebut dan perlu diatur mengenai mekanisme pengajuan kekhususan tersebut.

2.      Otonomi Daerah sebagai Instrument Pemersatu Bangsa
Pada dasarnya negara selalu dihadapkan dua (2) hal yang cita-cita sebuah negara, yakni kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan rakyat merupakan parameter keberhasilan pemerintah daerah yang pimpinannya dipilih secara demokratis. Otonomi daerah seluas-luasnya terlaksana dengan pemanfaatan sumberdaya ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa peningkatan kesejahteraan rakyat, sendi-sendi demokrasi akan rapuh.[20] Otonomi daerah secara umum sudah berlangsung lebih baik saat ini dibanding masa sebelum tahun 1999, tetapi masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) kelompok masalah besar:
a.       Tidak tepat dalam hal pendekatan, sehingga masalahnya tidak dapat diatasi, misalnya dengan cara mengharuskan UU sektoral untuk melakukan sinkronisasi.
b.      Pemerintah, pemerintah daerah dan stakeholder lainnya sering melaksanakan UU No. 32 Tahun 2004 dengan tidak sebagaimana mestinya, sehingga sebaiknya UU ini direvisi supaya dapat dilaksanakan dengan benar. Kesalahan itu misalnya pemerintah pusat dan provinsi tetap gemuk, dan pemerintah kabupaten/kota masih banyak yang belum memiliki pegawai yang terampil. 1 Juga ada beberapa usulan RUU yang keperluannya harus dipikir kembali karena dianggap dapat diatur secara lebih baik dalam satu UU tentang Pemerintahan Daerah, misalnya, pelayanan publik, pembangunan daerah tertinggal, tata hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah, serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
c.       Dari pengalaman, kita belajar tentang banyak hal dimana sistem pengaturan pemerintah daerah dapat lebih disempurn misalnya dalam hal pembentukan organisasi, fungsi kecamatan, manajemen kinerja pelayanan publik, dan lain-lain.[21]
Tentu dalam perjalanannya sistem disentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia mengalami berbagai hambatan, seperti yang disebut diatas tapi itu menjadi penting dimasa transisi seperti saat ini, karena pada dasarnya pengalaman adalah guru terbaik sehingga dari pengalaman tersebut, Indonesia mampu menemukan konsep ideal disentralisasi, bahkan negara Amerika Serikat butuh 300 tahun membangun sistem demokrasinya. Oleh karena itu selalu dibutuhkan proses menuju konsep yang ideal karena pada dasarnya tidak ada sesuatu yang langsung jadi dan tidak ada yang tidak jadi sama sekali. Indonesia selain menganut model desentralisasi simetris (seragam) dan mengakui pula desentralisasi asimetris. Pengaturan tentang desentralisasi asimetris ditemukan dalam Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1 & 2). Dalam Pasal 18A ayat (1) diamanatkan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 18B ayat (1 & 2) diatur bahwa satuan-satuan pemerintahan daerah yang  bersifat khusus atau bersifat istimewa diakui dan dihormati. [22]
Selanjutnya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, dikenal 2 sistem otonomi daerah, yang pertama otonomi khusus (disentralisasi asimetris) seperti yang terjadi provinsi DI Yogyakarta, Papua, Aceh dan yang kedua otonomi daerah. Dalam sistem otonomi khusus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup, ketertinggalan, dan aspek politis. Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan dibandingkan dengan provinsi lain karena secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a glue of national integration[23]. Pemberian otonomi khusus kepada provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darussalam diawali oleh gerakan separatis/pemberontakan oleh Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka. Tuntutan daerah yang diekspresikan lewat gerakan separatis lebih sebagai tindakan koreksi guna memaksa Jakarta melakukan perubahan mendasar format hubungan Jakarta dengan daerah ketimbang sebuah hasrat untuk memisahkan diri yang memang inherent  dalam setiap gerakan separatis.[24]
Pemberian otonomi secara luas kepada daerah-daerah merupakan salah satu instrument pemersatu bangsa untuk mencapai stabilitas dan membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi secara menyeluruh. Di Spanyol melakukannya selepas meninggalnya Franco. Jerman bahkan dipaksa menerima sebuah format federasi ketika sekutu menaklukannya dalam perang Dunia ke II. Philipina, berusaha mengakhiri pemberontakan panjang di Mindanau dengan merancang sebuah format hubungan khusus antara Manila dengan kawasan yang dikuasai separatis Muslim ini.[25] Stabilitasi sistem dapat tercapai melalui pengaturan politik dan pemerintahan disentralisasi bahkan federatif karena didalam format yang ada dapat mengakomodasi empat hal paling sensitif dalam dunia politik, yakni sharing of power, sharing of revenue, empowering lokalitas serta pengakuan dan penghormatan terhadap identitas kedaerahan.[26] Tapi perlu diingat pemberian otonomi khusus dan pemekaran daerah dapat mendorong sentimen primordial yang bersifat kesukuan yang berlebih-lebihan, berpotensi hilangnya semangat ke Indonesiaan.
Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi-diskusi yang diselenggarakan tercatat sejumlah permasalahan Desentralisasi Indonesia, antara lain:[27] 
a.       Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yangg berakibat pada perbedaan interprestasi, tumpang tindih, dan tarik menarik kewenangan antar level pemerintahan;
b.      Kerancuan yang terjadi menyusul model susunan pemerintahan yang menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sebagaimana kabupaten/kota, padahal wilayah provinsi meliputi wilayah kabupaten/kota, dan pada saat bersamaan juga merupakan wakil pempus di daerah;
c.       Situasi pembuatan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah yg cenderung terpecah-pecah sehingga menghasilkan pert uu-an yang saling bertentangan atau tidak tepat sasaran, baik dalam lingkup nasional maupun lokal;  
d.      Kecenderungan pemerintah nasional tidak melakukan penyesuaian kelembagaan dengan rezim desentralisasi sehingga yang terjadi justru “pembengkakan” struktur kelembagaan di pusat;
e.       Pembagian kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang belum jelas dan cenderung seragam untuk seluruh daerah sehingga banyak menimbulkan banyak kesulitan karena tak seluruhnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah;
f.       Banyaknya urusan pemerintahan yang mensyaratkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria), dimana kelambanan di departemen sektoral dlm NSPK berimbas pada tidak adanya standar kualitas penyelenggaraan urusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Walaupun ada keleluasaan bagi daerah untuk bergerak sebelum NSPK keluar, namun sangat sedikit daerah yang berinovasi untuk menetapkan sendiri kualitas pelayanan publik. Selain itu, dalam pelaksanaannya di Indonesia  terdapat sejumlah tantangan Desentralisasi, yaitu  Problem Uniformitas yang dirinci sebagai berikut:[28]

·         Desain tunggal desentralisasi di tengah keberagaman karakteristik dan kebutuhan lokal tidak menjadi jawaban atas variasi tantangan lokal Indonesia;
·         Karakteristik khusus misalnya Daerah kepulauan, daerah perbatasan, kawasan rawan bencana, kawasan-kawan dengan keunikan budaya dan kesejarahan, daerah-daerah dgn keterbatasan  kapasitas dalam pengelolaan fungsi dasar pemerintahan, daerah-daerah  yang menyimpan konflik dengan nasional.
·         Daerah-daerah tersebut, uniformitas desain desentralisasi gagal menjadi kerangka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.
·         Perlu pemikiran alternatif bagaimana model desentralisasi.
Konsep disentralisasi asimetris perlu didorong sebagai altenatif desain disentralisasi kedepan sebagai jawaban atas berbagai karateristik daerah-daerah di Indonesia.
















BAB III
Kesimpulan
Konsep disentralisasi asimetris perlu dikedepankan guna mensejahterahkan rakyat, dengan karakteristik Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merouke akan sulit, jika hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah. Provinsi Papua, Aceh,  Kepulauan Riau,  Kalimantan Barat, Daerah IstimewaYogyakarta dan  DKI Jakarta, bisa dijadikan embrio bagi pelaksanaan disentralisasi asimetris.
             Cakupan disentralisasi asimetris diberlakukan di level provinsi karena kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam peraturan perundangan-perundang pemerintahan selama ini dan tidak menciptakan hubungan berbeda pemrintah pusat-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan baik.
Saran
Demi tercapainya tujuan disentralisasi dan otonomi daerah diperlukan kepemimpinan yang beritegritas dan berkompeten, pembangunan sistem yang ideal tanpa didukung kepemimpinan yang berintegritas tinggi dan berkompeten akan menghambat pencapain cita-cita disentralisasi dan otonomi.      
            Perlu penyelelarasakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan pelaksanaan disentralisasi karena pada dasarnya disharmonisasi peraturan perundang-undangan akan berimplikasi bermasalahnya fondasi ketatanegaraan.


[1] Draf Naskah Akademik Pemerintahan Daerah,  hal 19
[2] Bhenyamin Hoessein, 2005,  Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah,  Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta: Yayasan Tifa,  hal 198.
[3] Draf Naskah Akademik Pemerintahan Daerah, op cit hal 18
[4]Abdul Gaffar Karim (Editor), Op cit, Hal xix
[5] M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, Loc cit.
[6] Artikel, Desimenasi Hasil Rist Model Desentralisasi Asimetris Aceh-Papua, Diseminasi Hasil Riset Model Desentralisasi  Asimetris Aceh – Papua _ Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM _ Official website of JPP.htm, Diakses pada tanggal 30 Januari 2013.
[7] Pratikno, dkk, 2010,  Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Hasil Penelitian,  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 139
[8] Lihat Pasal 18 huruf (n) Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Yogyakarta
[9] Ramlan Surbakti, 2010,  Memahami Ilmu Politik , Jakarta: Grassindo, hal. 216
[10] Edie Toet Hendratno,  2009, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta, Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, hal 58
[11] Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional.
[12] Lihat Undang-Uundang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
[13] Lihat Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001
[14] Rusdianto S, Makalah, Status Daerah Otonomi Khusus Dan Istimewa Dalam Sistem Ketatanegaran Republik Indonesia, hal 16.
[15]  M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, Loc cit
[16] Bayu Dardias, Menakar  Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://sional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses pada tanggal 28 januari 2013.
[17] Bayu Dardias,  Menakar  Otonomi Khusus Aceh dan Papua, ibid
[18] Bayu Dardias, Menakar  Otonomi Khusus Aceh dan Papua, ibid
[19] Pratikno, dkk,  Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Op cit , hal 15-17.
[20] Ir. H. Isran Noor, Msi, Politik Otonomi Daerah Dalam Kerangka Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ha l 9
[21] Draf Naskah Akademik,  hal  4
[22] Lihat ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 18A dan Pasal 18B.
[23] M Mas’ud Said, Perlunya Disentralisasi Asimetris, News  Desentralisasi Asimetris - Prof. M. Mas'ud Said, Ph.D.htm, diakses pada tanggal 28 January 2013.
[24]  Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), Otonomi Daerah dan Keindonesiaan , Op cit, Hal 12
[25] Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), Otonomi Daerah dan Keindonesiaan,  Op cit, Hal 17
[26] Cornelis Loy, Abdul Gaffar Karim (Editor), ibid
[27] Kotan Y. Stefanus, Makalah,  Pengembangan   Desentralisasi   Asimetris Dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[28] A.A.GN Ari Dwipayana,2011,  Menata Desentralisasi Indonesia, Makalah, Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 1-2.