Senin, 17 November 2014

Apakabar Perpu Plikada???

Oleh : Samsul Arifin

Apakabar Perpu Plikada???


Semenjak pertengahann 2014, pertunjukan akrobatik politik nasional dipertontonkan dan dipentaskan dengan apik menurut versi masing-masing pelaku dan kubu seniman politik untuk menarik serta merebut standing applause segmentasi politiknya yakni masyarakat luas. Mulai dari Pemilu Legislatif, pemilu Presiden sampai perebutan pimpinan MPR RI dan DPR RI beserta alat kelengkapannya yang bermuara pada munculnya DPR tandingan oleh kubu koalisi Indonesia hebat (KIH) terhadap koalisi merah putih (KMP) yang menutup penuh pos struktural pimpinan MPR dan DPR. kompetisi politik kedua kubu ini juga merambah pada persoalan hukum hal tersebut bisa diukur dengan kadar rasionalitas standard pun sulit kiranya untuk tidak mengaitkan polemik undang-undang yang dibentuk lembaga legislatif ini sebagai ekses dari mengakarnya kompetisi politik dari dua kubu tersebut semisal UU MD3 dan UU No. 22 Tahun 2014, namun dalam hal ini penulis fokus terhadap persoalan Pilkada yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2014, dimana undang-undang ini memang cukup berhasil mengais reaksi dari masyarakat mengingat pemilu kepala daerah dikembalikan kepada DPRD yang sebelumnya dipilih langsung oleh rakyat, bahkan gesekan dealektika kuat terjadi di internal DPR sendiri antara kedua kubu dan yang diwarnai walk out fraksi partai demokrat serta diakhiri dengan voting untuk mengesahkan undang-undang ini.
Meskipun memang sampai detik ini hanya Presiden yang diberi kewenangan untuk menafsirkan “hal ihwal kegentingan memaksa” dengan subyektifitasnya, entah pertimbangan apa yang ada dalam benak Presiden SBY pada waktu itu yang akan segera berakhir masa jabatannya, apakah reaksi sebagian masyarakat terhadap UU No. 22 tahun 2014 tersebut sudah cukup kuat memenuhi syarat Negara dikategorikan dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga Presiden memandang urgen mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2014, Dan apakah dengan dikeluarkan nya Perpu ini akan benar-benar menjawab dan menyelesaikan segala polemik hukum tentang pemilu kada? Justru dengan dikeluarkannya Perpu ini akan membuka gerbang persoalan hukum baru.

Kekosongan hukum
Pasca meredupnya hingar-bingar perdebatan soal UU MD3 khususnya terkait pengaturan pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR antara dua kubu (kubu KIH dan KMP) dengan ditandai kesepakatan islah keduanya, masyarakat sudah mulai sadar dan melemparkan fokusnya kembali pada persoalan Perpu No.1 tahun 2014 yang sempat kalah pamor oleh pemberitaan duel perdebatan dua kubu KIH dan KMP tersebut. Ketika Presiden mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 2014, sebagian kita mengatakan itu adalah anti tesa dan jalan keluar (the way out) dari kebuntuan perdebatan antara pihak yang menginginkan pilkada tetap langsung dan pihak yang menginginkan pilkada oleh DPRD, namun ketika kita kaji secara lebih mendalam, dikeluarkan nya Perpu ini malah sangat berpotensi menciptakan persoalan hukum baru yakni “kekosongan hukum”, yakni sesuai perintah konstitusi Pasal 22 ayat (2 dan 3) bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya” dan “jika tidak mendapat persetujuan peraturan pemerintah itu harus dicabut”. Artinya ketika Perpu no.1 tahun 2014 ini tidak mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya maka Perpu ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dari sinilah awal mulanya terjadinya “kekosongan hukum” tentang pilkada mengingat selain Perpu tersebut sudah dicabut dan tidak bisa kembali menggunakan UU No. 22 tahun 2014 karena Undang-undang ini sudah dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang sejajar, sah dan berlaku ketika dikeluarkan yakni Perpu no. 1 tahun 2014 tersebut, oleh karena itu secara mutatis mutandis pencabutan terhadap UU No. 22 tahun 2014 juga sah sehingga tidak berlaku lagi. Semisal Perpu tersebut ditolak dan terjadi kekosongan hukum, Lantas bagaimana dengan nasib pelaksanaan pilkada yang jadwal semestinya harus dilaksanakan pada saat waktu terjadi kekosongan hukum tersebut? Apakah ia pelaksanaan pilkada tersebut dibekukan sementara waktu sampai dibentuknya undang-undang baru oleh DPR untuk menghindari pilkada yang illegal dan atau Presiden mengeluarkan Perpu kembali mengingat terjadi kekosongan hukum, yang jelas opsi itu semua bisa dilakukan tetapi bukan tanpa ekses.
Secara politis, perpu ini ada harapan untuk diterima dan menjadi undang-undang oleh DPR pada persidangan berikutnya, mengingat komposisi dua kubu di DPR sekarang yang setuju dengan yng tidak setuju pilkada langsung dengan suara hampir seimbang, otomatis yang menjadi penentu adalah fraksi partai demokat yang notabene bagian dari kubu KMP akan tetapi lain sisi Perpu merupakan produk era Presiden SBY yang tidak lain adalah ketua umum partai demokrat, dan secara substansial Perpu ini juga merupakan pengaturan yang diperjuangkan oleh fraksi demokrat disaat menjelang pengesahan UU No. 22 tahun 2014 yang berujung walk out yakni pemilihan secara langsung dengan penambahan sepuluh poin, lantas secara tanggung jawab dan beban moral apakah ia fraksi partai demokrat nantinya akan menolak Perpu ini pada sidang berikutnya, kalau itu terjadi maka hal tersebut merupakan bentuk inkonsistesi lemabaga kepartaian wang wajib dicatat oleh rakyat.

Palu MK
Peran Mahkamah Konstitusi (MK) jugan sangat menentukan apakah nantinya akan terjadi kekosongan hukum apa tidak dalam penyelenggaraan pilkada, jika MK menerima judicial review terkait Perpu No. 1 tahun 2014 ini. Semisal jika MK menerima permohonan judicial review pengujian formal terhadap Perpu ini oleh sadara Didik Siprianto yang agar Perpu tersebut dinyatakan inkonstitusional dengan alasan Perpu tersebut tidak memenuhi syarat keadaan kegentingan memaksa sebagaimana putusan MK No. 138/PUU/VII/2009. Semisal nantinya MK dalam putusannya menyatakan Perpu No.1 tahun 2004 dinyatakan inkonstitusional maka ada kemungkinan tidak terjadi kekosongan hukum tergantung bagaimana bunyi vonis putusan MK apakah “batal” atau “membatalkan”. Jika vonis MK menyatakan Perpu No. 1 tahun 2014 “batal” (ex-tunc), maka secara mutatis mutandis UU No. 22 tahun 2014 dinyatakan tetap berlaku karena Perpu No. 1 tahun 2014 yang mencabutnya dianggap tidak pernah ada, dan undang-undang pilkada bisa digunakan kembali sehingga pemilu kada tidak akan mengalami kekosongan hukum, akan tetapi jika vonis MK menyatakan “membatalkan” (ex-nunc) Perpu No. 1 tahun 2014 maka vonis tersebut berlaku kedepan dan tidak menjangkau terhadap akibat hukum sebelumnya, oleh karena itu Perpu no. 1 tahun 2014 ini pernah dianggap ada secara sah dan mencabut UU No. 22 tahun 2014 secara sah pula sehingga vonis ini juga membuka peluang terjadinya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan pilkada.
Sekian terimaksih, salam hangat.. !!!!!!!!!!!!

Selasa, 28 Oktober 2014

Meneropong “Kabinet Kerja”

Oleh : Samsul Arifin
Selasa, 28 Oktober, 2014

Meneropong “Kabinet Kerja”
Masih tergambar dengan jelas bagaimana hingar-bingar meriahnya euforia perayaan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Yusuf Kalla periode 2014-2019 pada Senin 20 Oktober kemaren, besar dan meriahnya euforia oleh rakyat tersebut secara tersirat tidak dapat dimaknai sebagai perayaan rakyat terhadap sah nya Jokowi-Yusuf Kalla menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden baru semata, melainkan harus mampu ditangkap dan dipahami sebagai gambaran besar wujud espektasi rakyat Indonesia terhadap amanah yang diembannya, karena pada dasarnya perayaan tidak di letakkan pada saat start perjuangan tetapi diletakkan pada saat perjuangan sudah mencapai garis finis dengan syarat disertai prestasi yang memuaskan bagi bangsa ini. Besarnya ekspektasi rakyat terhadap pemerintahan baru yang dinahkodai oleh Jokowi-Yusuf Kalla ini bukanlah pengharapan besar halusinasif semata dan tanpa dasar akan perubahan serta kemajuan bangsa ini, mengingat ekpektasi tersebut merupakan hal yang wajar sebagai pantulan balik yang sinergis dengan apa yang Jokowi-Yusuf Kalla sampaikan disaat kampanye Pilpres seperti dalam hal pengentasan kemiskinan, kedaulatan energy, pemberdayaan ekonomi kreatif, penegakan hukum serta pemberantasan korupsi dan lain sebagainya. Espektasi besar rakyat tersebut harus mampu dirawat dan dijawab dengan baik oleh pemerintahan saat ini tidak hanya dalam lima tahun mendatang tetapi juga dalam mengawali pemerintahan sekarang, karena jika tidak, maka sangat dimungkinkan ekspektasi besar tersebut bereksodus kearah distrust yang dibalut kekecewaan rakyat. Dalam mengawali langkah pemerintahannya Presiden Jokowi tidak banyak mengalami hambatan dan sandungan yang sangat berarti, hal tersebut tidak terlepas dari proses tansisi dari pemerintahan sebelumnya terhadap pemerintahan sekarang berjalan lancar yang patut di apresiasi setinggi mungkin. Dan yang menjadi bacaan rakyat Indonesia sekarang yang meletakkan harapan besar pada pundak pemerintahan baru ini, ialah bagaimana Jokowi menyusun kabinet nya (kabinet kerja), karena disitulah sebenarnya rakyat dapat menakar langkah awal Presiden Jokowi dalam menyongsong pemerintahannya sampai lima tahun yang akan datang, apakah pos-pos “kabinet kerja” yang sudah terbentuk di isi oleh person-person yang layak dan profesional berdasarkan kompetensi dan track record nya, bukan hannya karena kedekatan emosional politis semata, karena tidak dapat dipungkiri kita pernah memiliki pengalaman traumatik berkaitan dengan ditetapkannya tiga menteri sebagai tersangka korupsi oleh KPK bahkan ada yang sudah di vonis oleh tipikor pada era pemerintahan sebelumnya yang ketiga-tiganya berasal dari partai politik pendukung pemerintahan, walaupun hal tersebut tidak mesti menjadi patokan utama terjadinya tindak pidana korupsi, karena tidak ada jaminan utuh bahwa menteri dari partai politik dan menteri dari kalangan professional untuk selalu bersih dari potensi korupsi, akan tetapi setidaknya kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang sudah terjadi.

Pelibatan KPK dan PPATK
Penyusunan kabinet atau menteri merupakan derefasi praktikal konstitusional karena sudah menjadi pranata konstistusi seperti yang termaktub dalam Pasal 17 UUD 1945, dimana dalam hal ini Presiden diberikan hak istimewa yakni hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Berkaitan dengan penyusunan kabinet pemerintahan Presiden Jokowi yang sudah terbentuk dengan nama “kabinet kerja” tersebut menarik untuk disimak, mengingat Presiden melibatkankan lembaga Negara lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK untuk dimintai report terkait rekam jejak calon menteri-menterinya untuk memastikan apakah bersih dari keterkaitan tindak pidana korupsi atau tidak. Dari prosesi rekruitmen menteri-menteri dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK yang tidak pernah dilakukan Presiden sebelumnya ini, walaupun report dari KPK menyatakan ada beberapa nama calon menteri yang disodorkan oleh Presiden Jokowi mendapat stabilo kuning dan merah artinya tidak rekomended untuk diplot sebagai menteri, tetapi dalam prosesi ini pada permukaan secara tersirat dapat ditangkap niatan dan maksud baik Presiden Jokowi untuk menyusun kabinet yang bersih, akan tetapi disisi lain ada beberapa hal yang patut dinilai lebih mendalam lagi yakni:
  • Mengingat KPK dan PPATK dalam menyampaikan report secara tertutup terhadap Presiden terkait nama-nama calon menterinya sehingga publik tidak tahu apakah Presiden masih mengangkat nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah atau kuning dari KPK, maka dari itu KPK dan PPATK hendaknya segera mengumumkan hasil report nya kepada publik, karena publik berhak tahu terhadap transparansi proses ini tanpa sedikitpun mengurangi hak prerogatif presiden
  • Hasil report KPK terkait nama-nama menteri yang mendapat stabilo kuning atau merah baik yang diserahkan secara tertutup terhadap Presiden dan atau nantinya di umumkan kepada publik oleh KPK bisa berdampak pada ketidak terpilihan yang bersangkutan sebagai menteri dalam “kabinet kerja” dan atau nantinya menyebabkan penghakiman (judge) tanpa adanya proses peradilan, padahal setiap orang dilindungi oleh asas presumption of innocence dari penghakiman sebelum adanya proses peradilan. Oleh karena itu KPK hendaknya mengumumkan hasil report nama-nama menteri yang mendapat stabilo merah, kuning tersebut agar publik tahu apakah nama-nama tersebut masih dipakek atau tidak dalam “kabinet kerja”. Tetapi dengan catatan KPK harus disertai dengan langkah penegakan hukum terhadap nama-nama mantan calon menteri dan menteri terpilih yang mendapat stabilo merah atau kuning tersebut, agar KPK tidak sewenang-wenang merusak nama baik seseorang tanpa memprosesnya secara hukum.

Kabinet refresentatif
Dalam perspektif postur pemerintahan akomodatif idealnya postur kabinet itu di isi oleh person-person yang merefrentasikan semua elemen bangsa dan Negara ini seperti komposisi lembaga perwkilan di parlemen namun keduanya merupakan lembaga Negara dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda, yang menjadi soal adalah dengan postur kabinet yang hanya terdiri dari 34 pos kementrian apakah mampu untuk mengakomodasi semua elemen perwakilan suku dan anak bangsa? Dapat kita bayangkan dengan jumlah suku yang ada di Indonesia kurang lebih 1.128 suku bangsa, terlebih semisal dari perwakilan suku bangsa tersebut meminta agar diakomodasi dalam kabinet, hal yang mustahil untuk mengakomodasi seluruhnya. Oleh karena itu penulis berpandangan bahwa kabinet yang baik itu bukan kabinet yang penyusunannya didasarkan pada hal yang sifatnya akomodatif sebagai pertimbangan utamanya tetapi kabinet yang penyusunan nya didasarkan pada pertimbangan kelayakan, kompetensi yang menjadi hak prerogatif Presiden untuk menetukan mengangkatnya, oleh karena itu yang tidak terpilih menjadi menteri terkecuali yang terkena stabilo merah atau kuning KPK bukan karena tidak layak dan tidak memiliki kompetensi melainkan bisa jadi karena satu dua hal yang hanya Presiden yang memahaminya.
dan semoga kabinet kerja ini benar-benar telah di isi oleh sosok-sosok yang layak, kompeten, serta profresional sehingga mampu mewujudkan espektasi besar rakyat Indonesia, atau setidak-tidaknya merealisasikan menunaikan janji-janji politik Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla seperti yang dikampanyekan.
Sekian terimakasih,
Selamat hari Sumpah Pemuda….!!!




Jumat, 24 Oktober 2014

Penggunaan Asas Diskresi atau Freies Ermessen Dalam Perspektif Yuridis



BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, salah satunya ialah mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu pembangunan terus-menerus dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut seperti yang telah digaris bawahi dalam pembukaan UUD RI 1945. Konskuensi yuridis Indonesia sebagai Negara hukum, segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan nasional tersebut harus mengacu atau dilandasi oleh hukum sebagai pijakannya, bijakan hukum yang dimaksud  bisa berupa produk hukum yang bersifat keputusan/ketetapan (beschikking) dan mengatur (regeling). Desakan kewajiban dalam menjalakan amanah mensejahterakan rakyat menyebabkan  intensitas dan continuitas dalam upaya untuk menyusun suatu tatanan kehidupan yang baru di Indonesia melalui pembangunan dan modernisasi memberikan pengaruh yang luar biasa bagi aspek hukum di Indonesia karena setiap kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan nasional tersebut dapat dipastikan melibatkan ruang hukum, hal ini sebagai cerminan garis bawah, bahwa dalam upaya mewujudkan mensejehterakan rakyat dapat dipastikan akan terjadinya hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah sebagai pelaku, pemegang kebijakan sekalugus melekat padanya kewajiban fungsi pelayanan publik (public service) dengan rakyat sebagai objek sekaligus subjek dalam pembangunan itu sendiri dalam pembangunan tersebut.
Dikarenakan pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam pembangunan memiliki fungsi “public service” ini, maka pemerintah tidak saja melaksanakan peraturan perundangan –undangan itu sendiri. Oleh karenanya pemerintah berhak menciptakan kaidah hukum konkrit yang dimaksudkan guna mewujudkan tujuan peraturan perundang – undangan.[1] Maka dari itu keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan – persoalan yang menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut, hal ini tampak pada segi pengaturan oleh hukum, baik dari aspek legitimasinya, maupun aspek keefektifan penerapannnya.[2]
Melekatnya fungsi pelayanan publik (public service) terhadap pemerintah memberikan konsekuensi tersendiri khususnya terkaid hukum administrasi Negara, terkadang administrasi Negara itu membutuhkan ruang gerak yang merdeka untuk dapat bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul tiba-tibadan yang peraturannnya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislasi. Dalam hukum administrasi Negara disebut dengan “pouvoirdiscrectionnaire” atau “freies ermessen” atau asas diskresi. Istilah ini mengandung kewajiban dan kekuasaan yang luas, yaitu terhadap tindakan yang akan dilakukan dan kebebasan untuk memilih melakukan atau tidak terhadap kondisi yang membutuhkan kebijakan administratif tersebut. Oleh karena itu penulis menganggap keberadaan atau penggunaan diskresi (“pouvoirdiscrectionnaire” atau “freies ermessen”) ini menarik untuk dikaji dari perspektif yuridisnya.



2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut :
Bagaimanakah penggunaan diskresi (“pouvoirdiscrectionnaire” atau “freies ermessen) dalam perspektif yuridis ?

















BAB II
Pembahasan
1.      Pengertian Diskresi
Pada dasarnya pengertian diskresi secara bahasa sama dengan kata pouvoir discretionnaire, (Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman), secara bahasa kata “Freies Ermessen” terdiri dari dua kata yaitu frei dan ermessen, Frei artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka, jadi Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat dan merdeka. Sedangkan Ermessen artinya memper-timbangkan sesuatu. Istilah freies ermessen juga sepadan dengankata discretionnaire, yang artinya kebijaksanaan. Beberapa pakar memberikan definisi tentang diskresi, semisal Saut P. Panjaitan, menyatakan bahwa diskresi merupakan pouvoir discretionnaire, (Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman), Jadi diskresi atau Freies Ermessen ialah merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Sedangkan Prof. Benyamin, menyatakan bahwa diskresi merupakan kebebasan pejabat  untuk mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi. Laica Marzuki mengatakan bahwa freies ermessen adalahmerupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negaradalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan denganmeningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikantata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi parawarga yang kian komplek.[3]

2.      Parameter Toleransi Diskresi atau Freies Ermessen
Pada dasarnya Diskresi atau Freies Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya kepada perundang-undangan, atau tindakan yang dilakukan dengan mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid),[4] artinya subyek atau penyelenggara administrasi Negara diberi kebebasan dan ruang gerak untuk melakukan terobosan berupa tindakan administrasi diluar yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku dengan catatan dalam keadaan tertentu tindakan dan keputusan administrasi tersebut dikeluarkan, adapun bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat penetapan, dan lain-lain.
Penggunaan diskresi atau Freies Ermessen sangat rentan disalahgunakan oleh organ-organ kekuasaan khususnya eksekutif yang dalam hal ini sebagai organ dan subjek yang memiliki kewenangan mengeluarkan kebijakan hukum, oleh karena itu dibutuhkan parameter khusus dan tolak ukur bagi eksekutif untuk mengeluarkan kebijakan hukumnya tersebut, berkaitan dengan parameter pembatasan penggunaan diskresi ini Ridwan berpendapat bahwa diskresi atau Freies Ermessen digunakan dalam tiga hal yaitu:[5]
a.       Kondisi darurat yang tidak mungkin menerapkan hukum tertulis;
b.      Tidak ada atau belum ada peraturan yang mengaturnya; dan
c.       Sudah ada peraturannya namun redaksinya samar dan multytafsir (vaque; not clearly expressed, inexplicit. Ambiguous; open to more than one interpretation; doubtful or uncertain).
J.B.J.M. Ten Berge mengatakan bahwa kebebasan administrasi ini mencakup kebebasan interpretasi (interpretatieverijheid), kebebasan mempertimbangkan (beoordelingsvrijheid), dan kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid). Interpretatieverijheid mengimplikasikan kebebasan yang dimiliki oleh organ pemerintahan untuk menginterpretasikan suatu undang-undang, adapun beoordelingsvrijheid muncul ketika undang-undang menampilkan dua pilihan (alternatif) kewenangan terhadap persyaratan tertentu yang pelaksanaannya dapat dipilih oleh organ pemerintah, sedangkan beleidsvrijheid lahir ketika pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada organ pemerintahan dalam melaksanakan kekuasaannya untuk melakukan intervensi dan mempertimbangkan berbagai kepentingan.
Berkaitan dengan parameter pembatasan pelaksanaan diskresi oleh organ pemerintahan (kesekutif), Prof. Muchsan, membagi kedalam 4 (empat) hal, yaitu:
a.       Apabila terjadi kekosongan hukum;
b.       Adanya kebebasan interprestasi;
c.        Adanya delegasi perundang-undangan;
d.      Demi pemenuhan kepentingan umum.
Selain itu terdapat beberapa alasan terjadinya Diskresi yaitu:[6]
a.       Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif perbuatannya;
b.      Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum;
c.       Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Undang-undang, penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat.
Dalam Rancangan Undang-Undang Diskresi juga disebutkan poin-poin apa saja yang membatasi Diskresi berikut poin-poin tersebut:
a.       hak yang dimiliki seseorang pejabat yang memiliki kewenangan delegasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan seseorang pejabat,
b.      untuk mengatasi suatu kasus dan permasalahan umum, atau bencana alam, atau Negara dalam keadaan darurat,
c.       karena konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku belum jelas atau belum mengatur;


3.      Penggunaan Diskresi (Freies Ermessen) Dalam Pembentukan Produk Hukum Dalam Perspektif Yuridis
Pada dasarnya penyelenggaraan negara harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat bukan berorientasi pada kepentingan golongan dan kelompok oleh karena itu untuk mewujudkan orientasi penyelenggaraan negara tersebut dalam Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa Azas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah azas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam Bab III Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 menyebutkan Azas-Azas Umum Penyelenggaraan Negara meliputi :
a.       Azas Kepastian Hukum ;
b.      Azas Tertib Penyelenggaran Pemerintahan ;
c.       Azas Kepentingan Umum ;
d.      Azas Keterbukaan ;
e.       Azas Proporsionalitas;
f.       Azas Profesionalitas;
g.      Azas Akuntabilitas.
Dalam penjelasan dari Pasal 3 dijelaskan yang dimaksud dengan  Azas Kepastian Hukum adalah azas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Pemerintah, akan tetapi dalam implementasi asas kepastian hukum ini harus sinergis dengan asas-asas umum perintahan yang baik lainnya semisal harus sinergi dengan asas kepentingan umum, ketika dalam hal  keadaan terjadinya kekosongan hukum dan hukumnya tidak jelas sedangkan kepentingan umum atau masyarakat membutuhkan legitimasi pemerintah dengan kebijakan hukumnya maka dalam keadaan seperti ini organ penyelenggara pemerintahan dibenarkan mengeluarkan kebijakan hukum yang tidak terikat pada perundang-undangan yang berlaku atau disebut dengan diskresi Freies Ermessen dalam pembentukan produk atau kebijakan hukum.
Asas diskresi atau Freies Ermessen yang dimiliki oleh organ penyelenggara pemerintahan mempunyai konsekuensi tersendiri dibidang perundang-undangan yakni berupa penyerahan kekuasaan legislatif pada pada pemerintah (eksekutif)sehingga dalam keadaan tertentu dan/atau dalam porsi dan tingkat tertentu pemerintah dapat mengeluarkan produk hukum atau peraturan perundangan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari parlemen. Menurut E. Utrecht. Ada beberapa implikasi dalam bidang erundang-undangan yang bisa dimiliki pemerintah berdasarkan Freies Ermessen, yaitu:[7]
a.       Kewenangan atas inisiatif sendiri yaitu kewenangan yang membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan undang-undangtanpa meminta persetujuan dari parlemen terlebih dahulu, dan
b.      kewenangan karena delegasi perundang-undangan dari UUD yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang dan yang berisi masalah-masalah untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang ada dalam satu undang-undang.
Menurut Prof. Muchsan, asas diskresi harus berlandaskan pada 2 (dua) hal:
a.       Landasan Yuridis.
b.      Kebijakan.
Kebijakan disini dibagi menjadi dua kategori, pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut) yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat tidak mutlak (relatif), hal ini dapat terjadi karena hukumnya tidak jelas. Dalam diskresi atau Freies Ermessen dikenal juga Extraordinary freies ermessen, dimana Extraordinary freies ermessenini dapat dilakukan sepanjang memenuhi criteria syarat-syarat yang sifatnya integral dan akumulatif, yakni sebagai  berikut:
a.       Adanya kondisi darurat yang nyata sangat akut dan tiba-tiba.
b.      Ketiadaan pilihan lain kecuali melakukan suatu tindakan yang berpotensi melanggar hukum.
c.       Kerugian yang ditimbulkan akibat dilakukannya tindakan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan tujuan atau maksud dilakukannya tindakan tersebut.
d.      Tindakan tersebut hanya untuk hal yang bersifat kepentingan umum yang harus segera dilindungi, dan pihak yang dirugikan juga dalam jumlah yang sangat sedikit.
e.       Adanya kompensasi.
Adapun contaoh contoh diskresi positif yang dilakukan oleh aparat pemerintah ialah Sopir pemadam kebakaran yang melanggar rambu-rambu lalu lintas seperti menerobos lampu merah dan kecepatan melebihi batas yang ditentukan, akan tetapi polisi memberikan sanksi atau tilang  karena pada saat yang bersamaan terjadi kebakaran di pemukiman penduduk yang membutuhkan pertolongan dengan segera, atau Seseorang tidak ditilang oleh Polisi meski melanggar lampu merah serta batas kecepatan karena sedang dalam situasi darurat mengantarkan seorang ibu yang hendak melahirkan.








BAB III

Kesimpulan
Dalam menyelenggarakan pemerintahan harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, dengan demikian harus mengacu pada asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang salah satu poinnya dalam penyelenggaraan pemerintahan harus menekankan pada kepastian hukum, akan tetapi dalam kondisi tertentu organ penyelenggara pemerintahan boleh mengeluarkan kebijakan hukum yang tidak terikat pada peraturan perundang-undangan, yang kemudian dikenal dengan istilah diskresi atau freies ermessen dalam pembentukan produk hukum oleh penyelenggara pemerintahan, adapun yang dimaksud dalam hal keadaan tertentu disini yang dapat dijadikan dasar menggunakan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum oleh penyelenggara pemerintahan ialah apabila terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan interprestasi, adanya delegasi perundang-undangan, dan demi pemenuhan kepentingan umum.
Saran
Dalam hal keadaan tertantu seperti yang di jelaskan pada kesimpulan diatas organ penyelenggara pemerintahan dipandang perlu untuk menggunakan asas diskresi atau freies ermessen dalam mengeluarkan kebijakan hukum, akan tetapi penyalahgunaan wewenang oleh organ penyelenggara pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi atau freies ermessen sangat potensial terjadi, oleh karena itu menjadi saran penulis bagi masyarakat dan organ pemerintahan yang secara struktural berada diatasnya untuk berpartisipasi dan mengawasi setiap penggunaan asas diskresi atau freies ermessen  dalam pembentukan kebijakan hukum atau produk hukum yang akan dikeluarkan.


[1] Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara DiIndonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.32
[2] Sunggono Bambang, 1994,  Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.1
[3] Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta,  UII Press, hlm. 133

[4] Ridwan, 2009,  Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta, FH UII Press, hlm. 81
[5] Ibid
[6] http:///Just Kazz Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pembuatan Produk Hukum.htm, diakses pada hari rabu 16 maret 2014 pukul : 15:02

[7] SF. Marbun & Moh. Mahfud MD, 1987,  Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, hlm. 46-47